Bagaimana Kehujjahan Syar'u Man Qoblana
Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh (di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis.
Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah.
Menurut Abu Zahrah bberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam melihat syari’at orang. Sebelumkita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u man qablana itu layak untuk diikuti atau d tinggalkan. Untukmemutuskan itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :
1. Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam. Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.
2. Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.
3. Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.
Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi
2. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad.
3. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan injil.

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan