Mengamalkan dua dalil lebih Utama

Kaidah yang menjelaskan patokan yang harus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan.

إِعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا مَا أَمْكَنَ

"Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan"

Kaidah ini menjelaskan patokan yang harus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.


Menyikapi Pertentangan Dalil

Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya. Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkin maka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhir lalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat.(1)

Alternatif pertama lebih didahulukan daripada alternatif kedua karena dengan menjamak berarti dua dalil tersebut telah diamalkan dalam satu waktu. Ini lebih utama daripada mengamalkan dua dalil tersebut dalam waktu yang berbeda. Kita mendahulukan alternatif kedua daripada alternatif ketiga karena an-naskh sebenarnya juga mengamalkan dua dalil tersebut hanya saja bukan pada waktu yang bersamaan tetapi pada waktu yang berbeda. Dalil yang dimansukh (dihapus hukumnya) diamalkan sebelum naskh, dan dalil yang menghapus diamalkan setelah naskh. Jadi, dalil yang mansukh tidak ditinggalkan secara mutlak, ia diamalkan pada waktunya sebelum dinaskh karena ia juga dalil shahih. Adapun tarjih maka hakikatnya adalah membatalkan salah satu dalil secara utuh dan diyakini tidak boleh diamalkan mutlak, tidak pada masa silam ataupun sekarang. Oleh karena itulah para Ulama' menjadikannya alternatif setelah an-naskh.(2)

------

1.     Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih dimana tidak ditemukan sarana untuk merajihkan (menguatkan) salah satu dari dua dalil tersebut, maka sikap kita adalah tawaqquf. Namun tidak ada contoh yang shahih dalam kasus seperti ini. (Lihat al-Ushul min 'llmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, hlm. 77).

2.     Lihat penjelasan berkaitan dengan hat ini dalam as-Syarh al-Mumti' 'ala Zad al-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, 1/281-282.


Contoh :

Berikut ini beberapa contoh kasus sebagai penjelasan aplikatif dari kaidah ini:

Baca juga :

1. Dalam sebagian ayat dijelaskan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bisa memberikan hidayah, sebagaimana firman Allah عزّوجلّ:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang Lurus. (QS. Asy-Syura/42:52)

Namun, di ayat lain disebutkan bahwa Beliau tidak bisa memberikan hidayah. Yaitu dalam firman-Nya:

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ 

kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki (QS. Al-Qashash/28:56)

Untuk menggabungkan kedua ayat tersebut, maka kita katakan bahwa hidayah yang dimaksudkan pada ayat pertama adalah hidayah (petunjuk) untuk mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran. Ini yang bisa dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم, sedangkan hidayah yang dimaksudkan pada ayat kedua adalah petunjuk dalam arti taufiq supaya seseorang mau menerima kebenaran. Hidayah ini semata-mata menjadi hak Allah عزّوجلّ, tidak dimiliki oleh Nabi صلى الله عليه وسلم maupun orang lain.(1)


---------------------

1.     Lihat al-Ushul min 'llmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 75.




 


image_title
Pasang Iklan
Print Friendly and PDF
72025 24372 74233

Mau donasi lewat mana?

Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Blogger and WriterCreator Lampung yang masih harus banyak belajar.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK Mandiri 9000046481967
an.Kholil Khoirul Muluk