Belajar dari Pengalaman Sabar para Nabi
PENGALAMAN PARA NABI DALAM BERSABAR
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أشد الناس بلاء الأنبياء, ثم الصالحون, ثم الأمثل فالأمثل
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang semisal mereka dan yang semisalnya” (HR. Ahmad, 3/78, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 995).
Nabi YuSuf dijebloskan ke dalam penjara selama tujuh tahun karena fitnah. Namun ia tidak berpaling dari Allah atau melakukan perbuatan yang tidak diridhoi-Nya. Akhirnya nabi Yusuf di jadikan Menteri Besar. Demikian pula nabi Ayub yang bertahun-tahun menderita penyakit kudis yang menjijikan, serta disisihkan dari anak dan istrinya. Beliau tidak putus asa atau mencoba bunuh diri. Beliau tetap menjalani hidup di jalan Allah. Dan akhirnya Allah menyembuhkan penyakitnya itu. Lain halnya dengan nabi Yunus. Karena seruannya tidak dipedulikan, maka ia terbawa emosi, lalu meninggalkan kaumnya yang menjadi tanggung jawabnya itu. Maka Allah menghukum nabi Yunus dengan memasukkannya beberapa lama ke dalam perut seekor ikan.
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا ٠ إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan Itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Al-insyirah/Asy Syarh (94):5-6.
BEBERAPA MOTIVASI UNTUK MELAKSANAKAN SABAR
Pertama : Menyadari sepernuhnya bahwa sama halnya dengan shalat, sabar adalah perintah Allah juga. Perbedaannya terletak hanya dalam soal waktu pelaksanaannya saja. Yaitu, bila shalat harus dilakukan pada 5 waktu tertentu, maka sabar dilakukan pada waktu menghadapi semua masalah (musibah), termasuk di dalamnya waktu menghadapi orang yang negatif.
Bila dikaji lebih mendalam, pada hakikatnya Allah menurunkan manusia ke dunia hanyalah semata-mata untuk diuji! Oleh karena itu bila kita mendapat masalah janganlah panik, karena memang untuk itulah hakikatnya manusia diturunkan ke dunia!
Renungkanlah baik-baik sabda Rasulullah saw. berikut "Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba maka Dia tenggelamkan hamba tersebut kedalam cobaan. Barangsiapa yang tidak pernah mengalami musibah, maka ia jauh dari kasih sayang Allah."
إذا أحَبَّ اللهُ قومًا ابْتلاهُمْ
“Jika Allah mencintai suatu kaum maka mereka akan diuji” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 285).
[ Bukankah tanpa pernah menghadapi kesukaran hidup manusia tak akan pernah bisa menjadi 'matang'? ]
"Sekiranya Aku uji salah seorang hamba-Ku yang beriman, lalu ia memuji-Ku atas ujian itu, berilah pahala yang bersambungan baginya, sebagaimana pahala yang biasa kalian berikan (atas amal yang mereka lakukan)." Hadits Qudsi
Kedua : Bila kita mampu bersabar dengan niat semata-mata hanya karena taat menjalankan perintah Allah, kemudian berserah diri kepada-Nya (shalat), yakinlah bahwa kita telah berpegang pada pegangan yang kokoh.
Maka jika ada diantaramu 100 orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang; dan di antaramu ada 1000 orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan 2000 orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. Al-Anfaal (8):66.
Ketiga : Sabar yang dilakukan dengan ikhlas, sebagaimana ikhlasnya waktu mengerjakan shalat, adalah merupakan perbuatan positif. Sedangkan kesal, jengkel, penasaran (perasaan tidak ikhlas) adalah perbuatan negatif. Menurut F. Bailes dalam buku "Penyembuhan Penyakit Melalui Pikiran" : Pikiran yang positif akan menyehatkan sel-sel tubuh, sebaliknya pikiram yang negatif akan merusak sel-sel tubuh.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sabar itu mempunyai pasangan; yaitu shalat. Sabar dan shalat ibarat dua sisi keping mata uang yang harus selalu berjalan beriringan. Sabar tanpa shalat. ibarat bangunan tanpa fondasi beton, mudah ambruk terserang gempa.
UJIAN TANDA CINTA ALLAH
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Juga dari hadits Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
HIKMAH
1- Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan pahala yang besar.
2- Tanda Allah cinta, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman -seorang sholih- pada anaknya,
يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء
“Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya dengan api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”
3- Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho Allah dengan mendapat pahala yang besar.
4- Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang pedih.
5- Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.
6- Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga ia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.
7- Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath Thibiy berkata, “Hamba yang tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa karenanya.” (Lihat Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)
8- Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta semacam ini.”

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan