Macam macam Syar'u Man Qoblana

Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, Syar’u Man Qablana atau syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad saw terklasifikasi menjadi dua bagian:

Bagian pertama, Syar’u Man Qablana yang tidak disebut dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada bagian pertama ini ulama sepakat bahwa syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad saw tidaklah menjadi syariat baginya dan umatnya. Contohnya setiap pekerjaan dan ritual yang dilakukan oleh orang-orang ahli kitab namun tidak diketahui dari mana sumber pekerjaan mereka dan syariat Nabi Muhammad saw tidak menganjurkannya. Dalam hal ini, para ulama lebih memilih diam (mauqûf) dari menganggapnya sebagai syariat umat terdahulu atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra bahwa orang-orang ahli kitab membaca Kitab Taurat menggunakan bahasa Ibrani dan menafsiri dengan menggunakan bahasa Arab, lantas Rasulullah saw bersabda:

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ (رواه البخاري)

Artinya, “Janganlah kalian benarkan ahli kitab, juga jangan mengingkari mereka.” (HR al-Bukhari).

Setelah Rasulullah saw menyampaikan sabda di atas, beliau melanjutkan firman Allah, yaitu:

قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya, “Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak cucunya, dan pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.’” (QS Al-Baqarah: 136).

Isi, makna dan kandungan kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelum Al-Qur’an sudah banyak yang diubah, mulai dari bahasa, terjamah dan arti oleh orang-orang ahli kitab. Karenanya, Rasulullah saw memberikan alternatif agar tidak membenarkan mereka, khawatir sudah diubah sesuai kehendaknya, juga tidak memperbolehkan mengingkari, karena bisa jadi ada sebagian yang masih utuh sesuai ajaran yang diturunkan. Adapun cara terbaik adalah tidak menanyakan semua itu. Dengan kata lain, isi kitab-kitab yang diturunkan dan masih sesuai dengan makna awalnya maka harus dipercaya dan diiman sebagai manifestasi keimanan pada ajaran nabi sebelumnya. Sikap tidak mempersoalkan firman Allah merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat di atas.

Bagian kedua, Syar’u Man Qablana yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadits. Dalam bagian kedua ini ada beberapa poin penting yang perlu dipahami dari syariat nabi terdahulu yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, bahwa ulama masih mengklasifikasi perihal apakah hal  itu menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad saw atau tidak. Perincian itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

Pertama, Syar’u Man Qablana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan menjadi syariat bagi umat sebelum Nabi saw, namun dihapus (mansûkh) dari syariat Nabi Muhammad saw, maka ulama sepakat hal itu tidak termasuk komponen dari syariat Nabi Muhammad saw. Contohnya dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ، وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْم،ٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Artinya, “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya, dan sungguh Kami Mahabenar.” (QS al-An’am: 146).

Ayat di atas secara tegas mengharamkan setiap hewan yang mempunyai kuku, seperti burung, unta, angsa, dan semua jenis hewan yang mempunyai kuku. Begitu juga haram mengkonsumsi lemak hewan yang gemuk selain punuk dan perut besarnya. Ayat ini juga mengisahkan perihal yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Allah menegaskan tentang keharaman hewan-hewan yang telah disebutkan. Kemudian dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

Artinya, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi orang yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.” (QS al-An’am: 145).

Baca juga :

Ayat ini menghapus keharaman hewan-hewan yang telah diharamkan dan menjadi syariat bagi nabi terdahulu serta tidak diterapkan kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya. Menurut Sayyid Thanthawi, ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada makanan yang diharamkan kepada umat Nabi Muhammad saw kecuali bangkai (hewan mati yang tidak disembelih secara syar’i), darah yang mengalir, seperti darah yang keluar ketika hewan ketika disembelih, bukan darah beku seperti hati, dan limpa. Juga haram mengkonsumsi daging anjing dan babi karena semua itu dianggap kotor dan tidak disukai oleh watak manusia yang sehat, serta membahayakan pada kesehatan. (Sayyid Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, halaman 1555).

Kedua, Syar’u Man Qablana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, menjadi syariat bagi umat sebelum Nabi saw dan tidak dihapus (mansûkh) dari syariat Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa syariat tersebut menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad saw dan umatnya. Contohnya dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).

Pada ayat tersebut secara tegas Allah mewajibkan puasa kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya, sebagaimana diwajibkannya puasa bagi umat sebelumnya. Secara historis, yang melaksanakan kewajiban puasa pertama kali adalah umat nabi terdahulu, namun kewajiban itu terus berlanjut bahkan menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad saw. Karenanya ulama sepakat bahwa termasuk dari syariat kita adalah syariat umat nabi terdahulu yang diakui dalam Al-Qur’an sebagai komponen dari syariat Nabi Muhammad saw.

Ketiga, hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadits nabi, dijelaskan sebagai syariat umat sebelum Nabi Muhammad saw, namun secara jelas tidak dinyatakan menjadi syariat untuk Nabi Muhammad saw dan umatnya, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh (hapus).

Terkait bagian ketiga ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad saw, yaitu pendapat jumhur dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama kalangan mazhab Syafi’iyah. Ada juga yang  mengatakan tidak menjadi bagian dari syariat umat Nabi Muhammad saw, yaitu pendapat râjih (unggul) mazhab Syafi’i dan ulama Asy’ariyah.

Dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok pertama adalah firman Allah swt dalam Al-Qur’an, yaitu:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إلَيْكَ أَنِ اتّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنيفًا

Artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus.’” (QS An-Nahl: 123).

Argumentasi yang disampaikan Syekh Wahbah az-Zuhaili begini. Syariat yang diturunkan kepada siapa pun merupakan syariat yang diturunkan Allah, dan juga tidak ditemukan ayat lain yang menghapusnya, sementara Allah menceritakan kepada umat Islam dalam firman-Nya melalui lisan nabi-Nya, maka hal ini menjadi dalil secara tersirat yang harus diikuti oleh umat Nabi Muhammad saw. Sebab Allah tidak akan menceritakannya jika tidak ingin dijadikan syariat, atau setidaknya akan ada ayat lain yang akan menghapus makna ayat tersebut.

Adapun dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok kedua adalah firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

Artinya, “Untuk setiap umat dari kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS al-Ma’idah: 48).

Ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah swt menjadikan syariat tersendiri yang dibawa oleh masing-masing nabi untuk umatnya. Tentu setiap syariat yang dibawa oleh nabi yang berbeda akan menghapus syariat nabi sebelumnya, kecuali ada ketentuan khusus yang menjadikan syariat terdahulu sebagai bagian dari syariat umat nabi setelahnya, sebagaimana penjelasan pada poin kedua. (Wahbah az-Zuhaili, al-Wajîz fî Ushûlil Fiqh, halaman 102-104).

Menurut Syekh Wahbah yang lebih unggul dari kedua pendapat di atas adalah pendapat dari mayoritas ulama dan ulama mazhab Hanafiyah serta sebagian kalangan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa Syar’u Man Qablana ini dinyatakan sebagai syariat kita. Alasannya, syariat kita hanya membatalkan syariat orang terdahulu yang di anggap tidak sesuai dengan keadaan umat Nabi Muhammad saw. Karena itu, Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam Al-Qur’an tanpa ada penegasan bahwa hukum itu telah dihapus, maka kedudukannya berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw. Sebab syariat yang di berlakukan hukumnya, pada hakikatnya adalah hukum Allah swt, disampaikan oleh para rasul kepada umatnya selama tidak ada dalil yang membatalkannya. Sementara Al-Qur’an hadir untuk membenarkan hukum yang terdapat dalam kitab Taurat, Zabur dan Injil. Karenanya, selama tidak ada yang membatalkan, hukum yang terdapat pada ketiga kitab terdahulu itu berlaku juga untuk umat Nabi Muhammad saw. 

image_title
Pasang Iklan
Print Friendly and PDF
71160 23920 73368

Mau donasi lewat mana?

Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Blogger and WriterCreator Lampung yang masih harus banyak belajar.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK Mandiri 9000046481967
an.Kholil Khoirul Muluk