Pengertian Mujtahid dan Muqollid
Allah swt berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecual orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nahl: 43/ al-Anbiya’: 7).
Ada empat pokok pembahasan pada ayat diatas
[Pertama] Ayat ini persis secara redaksi ada pada dua tempat, yaitu pada QS. an-Nahl: 34 dan QS. al-Anbiya:7. Kedua ayat ini berbicara pada tema yang sama, yaitu seputar penolakan orang-orang musyrik terhadap kerusulan nabi Muhammad saw, dimana dalam anggapan mereka yang namanya utusan Tuhan itu harusnya bukan dari golongan manusia, setidaknya mereka harus dari kalangan malaikat, hingga akhirnya Allah swt menurunkan ayatnya:
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka” (QS. Yunus: 2).
Dan Allah swt juga menurunkan firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nahl: 43).
Demikian at-Thabari mengutip riwayat Ibnu Abbas ra terkait latar belakang turunnya ayat tersebut [1]. Demikian juga yang tulis oleh al-Wahidi (w. 468) terkait sebab nuzul ayat dalam kitabnya Asbab an-Nuzul. [2]
Mungkin dalam anggapan mereka jika utusan Tuhan itu adalah dari golongan manusia, maka mereka juga akan makan seperti yang mereka makan, dengan demikian berarti utusan Tuhan juga akan sering pergi ke kamar kecil untuk membuang hajat besar maupun kecil, perilaku ini sepertinya bertentangan dengan level mereka sebagai sebagai utusan Tuhan.
Sehingga melalui ayat ini, tegas Ibnu Katsir, ada dua tujuan utama yang hendak dicapai dalam rangka meyakinkan keraguan masyarakat Arab terkait kerasulan nabi Muhammad saw[3]:
(1) Melalui ayat ini Allah swt hendak mengabarkan bahwa semua nabi dan rasul yang diutus sebelum diutusnya nabi Muhammad saw ini juga dari kalangan manusia[4], dan
(2) jika memang masih ada keraguan terhadap kerasulan dari golongan manusia maka tidak salah jika perkara ini ditanyakan kembali kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang kitab-kitab sebelumnya, apakah nabi dan rasul mereka terdahulu juga dari golongan manusia atau dari golongan malaikat?
Jika itu yang mereka lakukan, maka secara ilmiyah dengan fakta-fakta apa adanya, mereka akan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya nabi Isa as, nabi Musa as, nabi Daud as, dan nabi-nabi yang lainnya yang pernah ada dalam sejarah manusia juga dari golongan manusia.
Lebih lanjut menunut ar-Razi selain bahwa Allah swt tidak pernah sama sekali mengutus seorang nabi dan rasul dari golongan malaikat, melalui ayat ini juga secara jelas Allah swt juga menegaskan bahwa tidak pernah ada nabi dan rasul dari jenis perempuan[5]. Semua pengakuan nabi dan rasul dari dari golongan perempuan terbantahkan dengan ayat ini.
[Kedua] Para ulama menyodorkan empat makna siapa yang dimaksud dengan ahl ad-dzikr pada ayat diatas. At-Thabari mengungkapkan bahwa yang mereka itu adalah[6]:
(1) Ahli kitab, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang pada keduanya ada pengetahuan tentang kitab Taurat atau Injil yang dahulu diturunkan untuk mereka, ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, dan lainnya.
(2) Ibnu Zaid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahl ad-dzikr pada ayat itu adalah ahli Quran, lalu kemudian beliau membacakan ayat:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”(QS. al-Hijr: 9)
Ar-Razi menambahkan dua poin berikutnya, yaitu :
(3) ahl ad-dzikr yang dimaksud ahli sejarah, yang padanya banyak pengetahuan seputar sejarah-sejarah masa lampau, dan yang ke
(4) Mereka adalah alim ulama secara umum[7]. Sebenarnya keempat makna ini bisa diambil semuanya demi menjaga keluasan makna yang ingin disampaikan oleh al-Quran, dengan alasan bahwa makna satu dengan yang lainnya tidak ada yang saling bertentangan.
[Ketiga] QS. an-Nahl: 43/ al-Anbiya’: 7 adalah ayat yang paling banyak dibicarakan oleh para fuqaha terkait tingkatan ummat Islam dalam memahami al-Quran maupun as-Sunnah, pembagian itu adalah:
(1) Mujtahid, dan
(2) Muqallid.
Kata mujtahid dalam bahasa arab merupakan ism fa’il (subjek/pelaku) dari kata kerja ijtahada,sedangkan pekerjaannya disebut dengan ijtihad. Abu Hamid al-Ghazali (w. 505) dalam kitabnya al-Mustashfa menjelaskan bahwa:
عِبَارَةٌ عَنْ بَذْلِ الْمَجْهُودِ وَاسْتِفْرَاغِ الْوُسْعِ فِي فِعْلٍ مِنْ الْأَفْعَالِ، وَلَا يُسْتَعْمَلُ إلَّا فِيمَا فِيهِ كُلْفَةٌ وَجَهْدٌ، فَيُقَالُ: اجْتَهَدَ فِي حَمْلِ حَجَرِ الرَّحَا، وَلَا يُقَالُ: اجْتَهَدَ فِي حَمْلِ خَرْدَلَةٍ، لَكِنْ صَارَ اللَّفْظُ فِي عُرْفِ الْعُلَمَاءِ مَخْصُوصًا بِبَذْلِ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ. وَالِاجْتِهَادُ التَّامُّ أَنْ يَبْذُلَ الْوُسْعَ فِي الطَّلَبِ بِحَيْثُ يُحِسُّ مِنْ نَفْسِهِ بِالْعَجْزِ عَنْ مَزِيدِ طَلَبٍ
“Ijtihad itu adalah mengeluarkan segala kemampuan secara maksimal dalam melakukan suatu pekerjaan, sehingga kata ijtihad ini tidak bisa diperuntukkan untuk sebuah pekerjaan yang ringan. Dan istilahijtihad ini pada akhirnya hanya dimaknai untuk seorang mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari dan mahamai ilmu syariat, sampai pada akhirnya dia merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang tersisa dari apa yang sudah dia lakukan”[8]
Dari sini bisa disimpulkan bahwa mujtahid itu adalah manusia yang mukallaf yang dapat memahami perkara syariat secara langsung lewat sumbernya, mereka adalah adalah ulama yang yang isyaratnya sudah jauh hari Allah swt firmankan:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nahl: 43/ al-Anbiya’: 7).
Lebih lanjut, ada beberapa syarat yang diajukan oleh as-Syaukani untuk menjadi seorang mujtahid:
1. Menguasai teks al-Quran dan as-Sunnah, terutama teks-teks/hadits yang berkaitan dengan hukum syariat.
Terkait berapa jumlah ayat ayat-ayat yang berbicara hukum, maka para ulama semisal al-Ghazali dan lainnya menilai bahwa jumlah ayat hukum itu terbatas dalam jumlah ayat tertentu. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Ghazi dalam Al-Mustashfa[9].Akan tetapi mereka yang berpendapat seperti ini pada akhirnya juga berselesih faham dalam jumlah pastinya.
Ibnu Al-Arabi misalnya, beliau berpedapat bahwa jumlah ayat hukum dalam Al-Quran lebih dari 800 ayat, namun al-Ghazali menilai bahwa jumlahnya kisaran 500an ayat saja, dilan pihak As-Shan’ani berpendapat bahwa jumlahnya berkisar 200an ayat, dan pendapat Ibnu Al-Qayyim hanya meyakini bahwa jumlahnya lebih kurang 150an ayat saja.
Namun mayoritas ulama yang menilai bahwa ayat hukum itu tidak terbatas jumlahnya, semua ayat dalam Al-Quran memungkin bagi kita untuk menyimpulkan hukum darinya, walaupun dalam aslinya ayat tersebut secara redaksional tidak sedang berbicara masalah hukum, hal ini sesuai dengan penejeasan Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum Al-Quran[10].
Lebih lanjut, az-Zarkasyi menilai bahwa pendapat kedua lebih utama karena dua alasan[11]:
Pertama: bahwa memang banyak hukum-hukum didalam Al-Quran itu didapat memalui penjelasan ayat Al-Quran yang memang secara redaksi menyebutkannya dengan jelas.
Misalnya saja kita akan dengan mudah mendapatkan penjelasn hukum tentang puasa melalui ayat berikut:
يا أيها الذين آمنوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْصِّيَامُ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dan bahwa keberadaan hukum puasa itu akan sangat bergantung dengan hitungan bulan bukan matahari, dan keterangan hukum seperti ini dengan tidak tertalu sulit biasa kita temukan lewat penjelasan ayat berikut:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الْشَهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”(QS. Al-Baqarah: 185)
Model ayat yang banyak menyebutkan hukum secara redaksi ini biasanya diapat pada ayat-ayat surat Al-Baqarah, An-Nisa dan Al-Maidah.
Kedua: Bahwa penjelasan hukum dalam Al-Quran juga bisa dapat dengan metode istinbath (menyimpulkan) karena memang secara redaksional ayat tersebut tidak menyebutkan hukum secara gamblang.
Kesimpulan ini bisa didapat baik lewat satu ayat, atau dengan menggabungkan banyak ayat yang tersebar pada surat yang bebeda, atau juga menggabungkan ayat dengan hadits Rasulullah SAW.
Misalnya pada ayat berikut:
فالآن بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar”(QS. Al-Baqarah: 187).
Dari satu ayat ini para ulama berpendapat bahwa tidak mengapa untuk berpuasa walaupun ketika subuh datang masih dalam keadaan junub (hadats besar), walaupun pada ayat diatas secara redaksional tidak disebutkan dengan jelas hukumnya, namun mata bathin para ulama bisa menangkap sinyal itu.
Misal berikutnya adalah penjelasan Al-Quran mengenai masa minimal kehamilan seorang perempuan. Al-Quran tidak menyebut secara tegas tentang usia minimal hamil, namun paa ulama menyimpulkan bahwa usia minimal hamil bagi perempuan itu adalah enam bulan.
Batasan ini disandarkan kepada sebuah atsar (perkataan sahabat) bahwa dulunya ada seorang laki-laki yang menikah, lalu dalam kurun waktu enam bulan dari pernikahannya mereka sudah memperoleh anak.
Melihat kenyataan seperti ini maka Utsman bin Affan ra. seakan kaget, dan terdetik didalam hatinya untuk menghukum mereka dengan sangkaan zina, lalu datanglah Ibnu Abbas ra, kemudian beliau memberikan penjelasan.
Mula-mula, Ibnu Abbas membacakan potongan sebuah sebuah ayat berikut:
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا
“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(QS. Al-Ahqaf: 15).
Lalu kemudian Ibnu Abbas melanjutkan penjelasannya dengan membaca ayat lainnya:
وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang pertama memberikan penjelasan kepada kita tentang rentang waktu kehamilan hingga menyapih anak dari susuan ibunya selama tiga puluh bulan, sedang ayat kedua menjelaskan kepada kita tentang waktu menyusui yaitu selama dua tahun (atau sama dengan dua puluh empat bulan).
Jadi jika waktu hamil sampai menyapih dikurangi waktu menyusui maka hasilnya adalah enam bulan, dan itulah sekurang-kurangnya umur kehamilan.
Kesimpulan hukum seperti ini tidak didapat secara redaksi ayat, namun kesimpulan ini justru didapat dari satu ayat yang digabungkan dengan ayat lainnya sehingga muncullah sebuah kesimpulan hukum.
Adapun kaitannya dengan penguasaan hadits bagi seorang mujtahid, maka ada baiknya kita perhatikan dengan seksama pembicaan Abu Ali ad-Dharir berikut dengan Imam Ahmad bin Hanbal:
Abu Ali: “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang sehingga dia boleh untuk berfatwa, apakah seratus ribu hadits sudah cukup?”
Imam Ahmad: “Belum”.
Abu Ali: “Kalau dua ratus ribu hadits?”
Imam Ahmad: “Belum”.
Abu Ali: “Bagaimana jika dia menguasai tiga ratus ribu hadits?”
Imam Ahmad: Belum juga”
Abu Ali: “empat ratus?”
Imam Ahmad: “Belum”
Abu Ali: “Jika lima ratus hadits, bagaimana?”
Imam Ahmad: “Mudah-mudahan”.[12]
2. Memiliki pengetahuan tentang permasalahan ijma’, agar tidak berfatwa bertentangan dengan perkara yang sudah ada ijmanya.
3. Memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa arab
4. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ushul fiqih
5. Menguasai seputar permasalahan nasikh danmansukh
Beberapa syarat lainnya yang diperselihkan diantara para ulama demi kelengkapan instrumen bagi seorang mujtahid sehingga dengannya dia bisa sampi kepada sebuah kesimpulan syariat dari sumbernya al-Quran dan as-Sunnah dengan benar. Hanya saja, jelas al-Ghazali ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi agar pendapat seorang mujtahid tersebut layak dikuti/diterima yaitu kualitas kepribadian yang sangat menjaga dirinya dari kemaksiatan baik kecil maupun besar.[13]
Sedangkan muqallid adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti membedakan mana yang kuat mana yang lemah, ia hanya bisa mengikuti pendapat-pendapat ulama yang ada. Dalam bahasa lainya mereka adalah orang-orang yang tidak bisa memahami khitab as-syar’ (al-Quran dan as-Sunnah) secara langsung kecuali melalui perantara pemahaman paraulama (mujtahid) khususnya.
Dari sinilah muncul konsep dasar bermadzhab [14], bahwa orang-orang yang awam sangat dianjurkan untuk mengikuti pendapat para ulama yang sudah ada tersusun rapi, bahkan keberadaannya terjaga hingga sekarang, dan terus dikembangkan oleh para ulama terkini utamanya dalam ruang lingkup madzhab, bahkan sebagian ulama meyakini hukumnya wajib [15], hal ini didasrkan kepada firman Allah swt:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nahl: 43/ al-Anbiya’: 7).
Juga firman Allah swt:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
Bahkan, menurut al-Jasshash, mengomentari QS. an-Nahl: 43 dan al-Anbiya’: 7, bahwa para ulama sudah satu kata bagi mereka yang tidak mampu untuk mengetahui dalil agar bertanya atau mengikuti mereka yang tahu, sehingga mayoritas ulama ushul menjadikan ayat ini sebagai landasan utama tentang kewajiban orang awam untuk mengikuti para ulama (mujtahid) khususnya. [16]
Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menguatkan bahwasanya bertanya kepada ahli dalam masalah syariat ini sudah menjadi tradisi para sahabat, bahkan para sahabat sudah sepakat bahwa awamnnya sahabat tidak diminta untuk mencapai derajat mujtahid, karenya kewajiban mereka hanya meminta fatwa saja, tidak hanya itu bahkan perkara ini sudah mnjadi konsensus seluruh ulama, tegas al-Ghazali. [17]
Dari sisi logika sehat juga mendukung kewajiban seorang awam untuk mengikut (taqlid) kepada pendapat ulama. Bagi seorang awam terhadap hukum syariah mereka mempunyai dua lilihan: (1) Berusaha memahaminya, berpikir dan berijtihad, atau (2) mengikut pendapat ualama yang sudah ada. Jika pilihan pertama yang dilakukan maka maka sudah barang tentu mereka membutuhkan banyak waktu untuk belajar, yang bisa membuat mereka berhenti bekerja; berhenti bertani, tidak ada lagi yang berjualan di pasar, sopir angkot semuanya mogok, dst, sehingga pilihan pertama itu bisa membuat dunia ini kacau dan tidak stabil. Jika hal pertama ini tidak mungkin maka sudah pasti pilihan kedualah yang diambil, yaitu mengikuti ulama.
Demikian isyarat yang disampaikan oleh al-Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H) [18], Abu Ishaq as-Syairazi [19], juga al-Ghazali [20], dan para ulama lainnya yang tidak bisa kami kutip semua pendapatnya.
[Keempat] Adapun madzhab apa yang terbaik yang harus diikuti, maka secara umum para ulama menilah bahwa orang awam berhak untuk mengikuti ulamamujtahid siapa saja yang dia inginkan [21], akan tetapi karena perkara bermadzhab ini sudah sangat menyebar seantero dunia, maka dalam memilih madzhab yang terbaik ada baiknya kita perhatikan cerita berikut ini, yang dikutip dari kitab al-Muswaddah fi Ushul al-Fiqh: [22]
“Syaikh Muhammad bin Yahya bercerita, cerita ini datang dari al-Qadhi Abu Ya’la, bahwa dahulunya ada seseorang yang datangkepadanya ntuk belajar fiqih Imam Ahmad (fiqih Hanbali). Lalu al-Qadhi Abu Ya’la bertanya tentang kondsi negri dimana seseorang tadi tinggal. Lalu dia menceritakannya. al-Qadhi kemudian berkata setelah mendengar ceritanya: “Penduduk negrimu itu semuanya bermadzhab Syafii, mengapa kamu justru ingin pindah dan belajar madzhab Imam Ahmad?
Ia menjawab: “Karena aku suka dan kagum kepadamu, wahai Syaikh”. Kemudian al-Qadhi Abu Ya’la melanjutkan perkataannya:
ان هذا لا يصلح فانك إذا كنت في بلدك على مذهب أحمد وباقي أهل البلد على مذهب الشافعي لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا بل كونك لى مذهب الشافعي حيث أهل بلدك على مذهبه أولى
“Sungguh yang demikian tidak baik, karena jika kamu sendiri yang bermadzhab Imam Ahmad dan masyarakat lainnya menganut madzhab Syafii maka tidak ada orang yang mau beribadah bersamamu, dan tidak ada orang yang mau belajar denganmu, bahkan keberadaan kamu disana bisa meimbulkan permusuhan, karena itu bagi saya (al-Qadhi) jika kamu tetap berpegang pada madzhab Syafii itu lebih utama”, demikian al-Qadhi menutup pembicaraannya.
Lalu al-Qadhi Abu Ya’la menyarankannya untuk bertemu dengan Abu Ishaq as-Syairazi, seorang ulama bermadzhab Syafii.
Wallahu A'lam Bisshawab
Footnote
[1] At-Thabari, Jami’ al-Quran…, jilid 17, hlm. 208.
[2] Al-Wahidi, Asbab an-Nuzul, (Dammam: Dar al-ishlah, 1412 H/1992), hlm. 279.
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim, jilid 4, hlm. 574.
[4] Lihat juga QS. al-Isra’: 93,94; al-Furqan: 20; al-Anbiya: 7, 8, 9; al-Ahqaf: 9; al-Kahfi: 11.
[5] Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib…, jilid 20, hlm. 210.
[6] At-Thabari,Jamil al-Bayan…, jilid 17, hlm. 208-209. As-Syaukani, Fath al-Qadir…, jilid 3, hlm. 193.
[7] Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib…, jilid 20, hlm. 211.
[8] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, (t.t: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H/1993 M), hlm. 342.
[9] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa…, hlm. 342.
[10] az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, (t.t: Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, 1376 H/1957 M), jilid 2, hlm. 3
[11] Az-Zarkasyi, al-Burhan..., jilid 2, hlm. 4.
[12] As-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilmi al-Ushul, (t.t: Dar al-Kitab al-Arabi, 1419 H/1999 M), jilid 2, hlm. 207.
[13] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, hlm. 342.
[14] Imam az-Zarqani (w. 1122) menjlaskan bahwa yang dimaksud dengan madzhab adalah pendapat yang diambil oleh para imam (mujtahid) dalam masalah yang berkaitan dengan hukum ijtihad. (lihat: az-Zarqani, Syarh az-Zarqani, hlm. 133), maka bermadzhab maksdunya adalah mengkuti pendapat imam tanpa harus mengetahui kualitas dalil yang menjadi landasan mereka dalam berijtijad. (as-Sulami, Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa’ al-Faqih Jahulah, hlm. 276-278.)
[15] Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, (t.t: syarikah at-thiba’ah al-fanniyyah al-muttahidah, 1393 H/1973 M), hlm. 431.
[16] Al-Jasshash, al-Fushul fi al-Ushul, (Kuwait: Wizarah al-Auqaf: 1414H/1994 M), hlm. 266.
[17] Al-Ghazali, al-Mustashfa, hlm. 372.
[18] Al-Qadhi Abu Ya’la, al-Udda fi Ushul al-Fiqh, (t.t: t.pn, t.th), jilid 4, hlm. 1226.
[19] As-Syairazi, at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh,(Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H), hlm. 414.
[20] Al-Ghazali, al-Mustashfa, hlm. 372,
[21] Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul…, hlm. 432.
[22] Alu Taimiyyah, al-Muswaddah fi Ushul al-Fiqh,(t.t: Dar al-Kutub al-Arabi: t.th), hlm. 541.

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan