Reuni dengan Keluarga di Syurga

 إني لأُصَلِّى فاذكُرُ ولَدِي فأَزِيدُ فِى صلاتي

”Sesungguhnya aku sedang shalat, dan aku teringat dengan anakku, lalu kutambahkan lagi sholatku”. (Sa'id bin Musayyib).

Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Quraisy adalah salah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih dari Madinah. Ia termasuk golongan tabi'in, dan merupakan salah seorang dari Tujuh Fuqaha Madinah. Di antara ketujuh tokoh Madinah tersebut, Said sering dianggap sebagai yang paling berpengaruh. Wikipedia

Ada penggalan do’a yang nyaris tak pernah kita lewatkan setiap usai shalat. “Robbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurratqa a'yun”, ya Rabb, karuniakan kami dengan menjadikan isteri serta anak kami penyejuk mata” ' Potongan munajat yang diambil dari surat AlFurqan ayat 72 ini, setidaknya merupakan cermin, kita sangat ingin memperoleh keturunan yang baik. Seorang penjahat, pelaku kriminal, pezina, penipu, siapapun, pasti ingin anak keturunannya menjadi orang baik-baik. Itu suara nurani.

Saudaraku,

Harapan memiliki keluarga dan keturunan yang shalih, makin kuat. Terutama dengan tantangan zaman yang semakin keras menerpa nilai moral dan agama. “Anak-anakmu bukanlah anakmu, tapi mereka adalah anak zamannya,” beginilah ungkapan seorang penyair menggambarkan pengaruh zaman yang sangat mempengaruhi kepribadian anak.

Adalah seorang tabi’in bemama Sahal At Tastari berjanji kepada Allah untuk anaknya saat isterinya masih mengandung anaknya. Ia mengajak anaknya untuk beramal shalih dan berharap agar Allah memberi kehormatan kepadanya dengan anak shalih. Katanya, “Sesungguhnya aku berjanji kepada Allah, aku akan memelihara anakku sejak saat ini, ketika anakku masih dalam bentuk benih atau janin, sampai nanti kelak Allah membangkitkan mereka pada alam kehidupan yang nyata.” (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/35 ).

Mendidik anak dan keluarga untuk tetap berada dalam jalan hidayah Allah sebenarnya banyak bertumpu pada bagaimana kualitas ketaqwaan dan keshalihan orang tua. Firman Allah surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya, 

“Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” 

menyebutkan pemeliharaan itu berawal dari pemeliharaan terhadap diri sendiri (anfusakum), atau Pihak orang tua. Setelah itu, barulah pemeliharaan itu diarahkan paday sanak keluarga (ahliikum).

Keshalihan orangtua juga ternyata memiliki akibat pada kebaikan keturunannya. Lihatlah jawaban Nabi Khidir ketika Nabi Musa as bertanya, “Kenapa ia menolak mengambil upah memperbaiki sebuah rumah yang hampir runtuh?” Jawaban Khidir adalah, “Kaana abuuhuma shalihan, " Adalah karena orang tua mereka itu orang yang shalih” (Lihat Al-Kahfi : 82). 

Saudaraku, 

Ketahuilah ada korelasi antara sikap kita kepada orang tua, dengan sikap anak kita kepada kita. Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba hamba yang Ia tidak akan berbicara kepada mereka di hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka dan tidak akan melihat mereka.” Sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Rasul bersabda, “Mereka adalah orang yang tidak mau peduli dengan orang tuanya, membenci keduanya dan tidak mau peduli dengan anaknya” (HR Ahmad dan Tabrani ). Apa artinya? Kebaikan kita pada orang tua, juga punya hubungan dengan sikap baik anak kita kepada kita sendiri.

Baca juga :

Pelajaran paling sederhana dari hal ini adalah nasihat Rasulullah yang berbunyi, “Birru aabaa akum yabirrukum abnaaukum.” berbaktilah kalian pada orang tua kalian, niscaya anak keturunan kalian akan berbakti kepada kalian. (HR. Thabrani) 

Saudaraku, begitulah. 

Memperbaiki hubungan dengan orang tua menjadi sebab tidak langsung ketaatan dan keshalihan anak. Ini sunnah ilahiyah, ketetapan ilahi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam Al lshabah (1/312), bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku masuk surga dan aku mendengar seseorang yang membaca A1 Qur’an. Aku berkata, “Suara siapa ini?” Malaikat menjelaskan bahwa itu adalah suara Haritsah bin Nu'man. Rasulullah lalu bersabda, “Itu karena sikap berbaktinya Haritsah”. Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa Haritsah adalah pemuda yang paling berbakti pada ibunya. 

Saudaraku, semoga Allah mengkaruniakan kekuatan pada kita untuk memikul tanggung jawab mulia ini. 

Baik sekali kita mengingat kembali kisah yang diriwayatkan Imam Ahmad, ketika ada seorang pemuda dalam keadaan sekarat. Rasulullah membimbingnya mengatakan “Laa ilaaha illallah, tapi pemuda itu tidak bisa mengatakannya. “ Padahal, menurut orang-orang yang mengenalnya, pemuda itu termasuk orang yang rajin shalat. Akhirnya terbetik kabar bahwa ia mempunyai masalah pada ibunya. 

Mendengar hal itu, Rasul segera memanggil ibu pemuda tersebut. “Engkau lihat, aku sudah sediakan api menyala, bila engkau memaafkan anakmu maka akan kami biarkan dia, tapi bila tidak kami akan bakar dia dengan api ini. Apakah engkau akan memaafkannya?” kata Rasulullah. Naluri kasih sayangnya tersentuh hingga ia mengatakan bersedia memaafkan anaknya. “Ya Allah aku bersaksi pada-Mu, dan aku bersaksi kepada RasulMu bahwa aku ridha dengan anakku. Setelah itu barulah pemuda itu bisa mengatakan, Laa ilaaha illallah.” Rasulullah bersabda, “Alhamdulillah, yang telah menyelamatkannya dari neraka....” 

Saudaraku, 

Nikmat terindah bagi keluarga yang tumbuh dalam ketaatan adalah, Allah akan mempertemukan mereka di surga yang abadi. Allah swt berfirman,

 “Dan orang-orang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun pahala amal mereka” (QS. Ath-Thur : 21). 

Demikianlah, keberadaan orang tua yang shalih bisa menjadi sebab masuknya anak-anak dan keluarga yang lain ke dalam surga. 

Dalam Al i’ti'qad, Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad kepada Ibnu Abbas. Bahwa setelah Allah menurunkan surat An-Najm ayat 39 yang artinya, “Tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali sebatas apa yang diupayakannya” Allah menurunkan pula surat Ath Thur ayat 21 “wa alhaqnaa bihim dzurriyatahum, ” Kami pertemukan mereka dengan keturunan mereka. Ibnu Abbas mengomentari bahwa yang membuat mereka dipertemukan itu adalah keimanan. “Allah memasukkan anak-anak dan keturunan itu ke surga, karena kebaikan dan keshalihan orang tua mereka,” begitu katanya. Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat “wa alhaqnaa bihim dzurriyatahum” itu berarti Allah swt mengangkat keturunan orang mukmin bersama orang tuanya dalam tingkatan yang sama di surga, meski mereka mungkin tidak sama amalnya dengan orang tua mereka. 

Ibnu Hajar menyebutkan sebuah hadits, bahwa Haritsah bin Nu'man datang kepada Nabi saw ketika Nabi tengah mendoakan seseorang. Haritsah duduk dan tidak memberi salam. Jibril bertanya, “Kenapa ia tidak memberi salam, jika memberi salam niscaya akan kami balas salamnya.” Nabi menjawab, “Apakah engkau mengenal orang ini?” Jibril berkata, “Ya, dia adalah satu dari 80 orang yang bersabar dalam perang Hunain, dan diberi rizki oleh Allah serta diberi rizki anak-anak mereka akan masuk surga (Al Ishabah ,1/312). Subhanallah. Begitulah penghargaan Allah swt terhadap orang tua yang 

Saudaraku, sampai di sini mengertilah kita makna perkataan Sa’id bin Musayyib, “Inni la ushalli fa adzkuru waladi, fa aziidu fi shalati, ” Sesungguhnya aku sholat, dan aku teringat dengan anakku, lalu kutambahkan lagi Shalatku.


image_title
Pasang Iklan
Print Friendly and PDF

Mau donasi lewat mana?

Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Blogger and WriterCreator Lampung yang masih harus banyak belajar.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK Mandiri 9000046481967
an.Kholil Khoirul Muluk