Khazanah tentang Hadzun Nafsi
Sahabat SantriLampung yang beriman; Suatu ketika Nabi Ibrahim diangkat ke Alam Malakut. Dia diperlihatkan orang-orang ahli maksiat.
Lalu Allah bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Menurut kamu, orang-orang yang seperti itu enaknya diapain? “
“Harus disiksa, ya Allah. Dimatikan saja. Sebab mereka memakan rezeki dari Engkau akan tetapi mendurhakai Engkau.”
Di waktu yang lain, Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih puteranya, Ismail.
Apa jawab Ibrahim? Saat itu, dia protes, “Hadza tsamrotu fuadi, bagaimana mungkin, ya Allah, padahal ini buah hati saya? Saya keberatan.”
“Apakah kamu tidak ingat, ketika dulu pernah Aku perlihatkan orang-orang yang berbuat maksiat, lalu kamu mengusulkan untuk menyiksanya, mematikannya dengan alasan mendurhakaiku, dan ide itu Aku kabulkan? Lalu sekarang, ketika Aku mengusulkan dan menyuruhmu untuk menyembelih anakmu kok kamu pikir-pikir?”
“Sebab itu anak saya, jadi saya berat untuk itu.”
“Lalu, kamu pikir ahli maksiat itu bukan Hamba-Ku? Aku sayang dengan Hamba-Ku. Yang menciptakannya Aku. Kamu lupa bahwa orang-orang yang maksiat ada potensi untuk taubat?”
Menangislah Ibrahim menyesali kekeliruannya.
Itulah di balik kisah syariat Qurban yang kita kenal untuk mewarisi millah syariat Ibrahim. Di balik perintah menyembelih Ismail.
Diantara ibrahnya, manusia seringkali tidak adil dan tidak kuat jika dihadapkan pada masalah-masalah yang menyangkut kepentingannya, keluarga dan orang terdekat.
Kita tidak mampu untuk bijak, berpikir luas, luwes dan mendalam. Jika orang lain yang melakukan kemaksiatan atau kesalahan, kita sangat tegas dan keras menghukuminya. Namun jika diri dan keluarga terdekat, kita lembek.
Kita seringkali benci kemaksiatan namun juga dengan diam-diam menyusupkan kepentingan dan embel-embel.
Saat pembantu memecahkan gelas, misalnya, apa yang kita lakukan? Jika pembantu itu jelek dan kita tidak naksir, pastilah akan kita marahi.
Namun jika pembantu kita cantik, “Ah nggak apa-apa, pecah lima juga nggak masalah, hanya gelas saja.”
Kita berbuat demikian sebab ada embel-embel. Memutuskan hukuman atas suatu kesalahan didasarkan atas kepentingan diri.
Banyak sekali ustadz, haji, kiai atau kita sendiri, ketika berhadapan kemaksiatan langsung menghukuminya.
Jika itu orang lain yang berbuat maksiat, langsung menyalahkan, “Anake sopo to iku kok ndugal temen? Mendem kok mben dino. Luwih apik modyar bocah ngono iku.”
Tetapi jika anaknya sendiri atau kerabatnya yang melakukan, “Gusti, mugo-mugo njenengan ngapuro anakku, ojo mati nek durung tobat.”
Manusia punya sisi-sisi seperti itu, disebut hadhun-nafs. Kepentingan diri yang membuat kita tidak adil dalam menyikapi sesuatu.
Bahkan lebih dalam lagi, ada maqolah kitab Hikam begini, “Manusia itu ketika berbuat baik saja jelek, apalagi berbuat buruk?”
Saat kita berdoa, memohon agar toko kita laris selaris-larisnya, supaya bisa mencukupi keluarga, bersedekah, pergi haji, zakat dan semacamnya, maka yang menjadi korban adalah kompetitor, dagangannya jadi sepi.
Jika pun tidak sepi, minimal berkurang omsetnya. Saat seorang kiai laris, banyak undangan sehingga numpuk jadwal setahun, maka kiai tersebut akan mengurangi potensi kiai lain untuk tampil, jobnya pasti berkurang.
Dua kiai alim berdebat: Kiai A jika diundang oleh orang kecil dalam suatu acara tidak mau hadir, namun jika diundang di istana, pasti dia siap. Kiai B sebaliknya, maka terjadilah perdebatan.
“Kamu dan saya itu lebih sopan saya. Sombong sekali kamu. Diundang orang kecil nggak pernah hadir tapi kalo orang besar yang ngundang kok hadir.” kata Kiai B.
Kiai A dengan lantang menjawab, “Ya jelas sopan saya. Kamu sebagai kiai besar memakan jatahnya kiai kecil, kiai ndeso.”
Ternyata, kiai yang tidak mau hadir ini, niatnya bagi-bagi rezeki dan posisi.
Di saat kita berdoa, “Ya Allah mampukan saya menyantuni anak yatim,” itu artinya secara tidak langsung “berharap” ada anak yatim. Ada anak yang orang tuanya meninggal.
Potensi hadzun-nafsi manusia seringkali jauh di bawah alam sadar. Untuk mengatasinya tentu dengan ilmu dan siasat agar mencapai kebijakan yang bijak, tidak plang-pleng dalam mengatasi persoalan hidup.
Betapa pun kemaksiatan dan dosa yang kita lakukan, syariat Nabi kita tidak memusnahkan ummat yang mbalelo, ummat ahli maksiat, sebagaimana ummat Nabi-Nabi terdahulu. Hal itu adalah keberuntungan tiada tara.
Begitu cintanya Nabi Muhammad kepada ummatnya, sedemikian rupa sehingga diharapkan seluruhnya masuk surga, meskipun hanya setitik cinta di hatinya.
Salah seorang Habib berkata, “Saya yakin, Corona ini bukan azab, sebab di Indonesia masih banyak yang bershalawat.” [sumber Gusbaha]
Wallahu A’lam.
Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan