Buah dari Makrifat

Sahabat SantriLampung yang saya muliakan di manapun berada, Makrifat adalah turunan dari salah satu 3 pilar Islam yakni "Ihsan". Di dalam Islam ada 3 pilar yang harus diaplikasikan selaras mungkin dalam ibadah. 3 pilar tersebut merupakan tingkatan dalam Islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.

Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada ibadah kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »

“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102). (Lihat Syarh Tsalaatsatil Ushuul 95-96, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin).

Makrifat adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal, sedangkan dalam tasawuf makrifat berarti mengetahui Allah Subhanahu wa Ta'ala dari dekat. Dengan Makrifat, seorang Sufi lewat hati sanubarinya dapat melihat dan merasakan pengawasan Allah. Nah!; bila kita ibadah sudah sampai kepada tingkat Ihsan kita akan merasakan malu kepada Allah, cinta kepada Allah, lalu rindu ingin jumpa dzat yang maha Menciptakan. Hal ini sebagaimana pendapat sebagian hukama (ahli hukum Islam) yang telah menyatakan sebagai berikut :

ثَمْرَةُ الْمَعْرِفَةِ ثَلَاثُ خِصَالٍ : الْحَيَاءُ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَالْحُبُّ فِى اللهِ وَالْاُنْسُ بِاللهِ .

Buah dari makrifat (mengenal Allah) itu ada tiga yaitu, malu kepada Allah, cinta kepada Allah, dan rindu berjumpa denganNya.

Pertama Malu kepada Allah. Malu yang dimaksud, kata Syaikh Nawawi, adalah “menahan diri dari berbuat maksiat kepada Allah.” Imam Muslim menuliskan hadits Nabi SAW, “…dan malu itu cabang dari iman”. Jadi indikasi orang beriman adalah memiliki rasa malu. Tak hanya itu, kata malu dalam bahasa Arab yang seakar dengan kata hidup, bisa dipahami orang yang hidup (hatinya) adalah yang punya rasa malu. Karena itu benar sabda nabi dalam hadits yang ditulis Imam al-Tirmidzi, “Bila kamu tidak (punya rasa) malu, berbuatlah sesukamu”. Dalam keseharian, kenyataan kita tidak punya rasa malu, ibadah kita belum sesuai dengan pemberian-Nya. Milik-Nya seperti tanah, air, minyak bumi dan lainnya kita kuasai dan akui. Kita juga kerap menyombongkan diri. Padahal Allah peringatkan, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong…” (QS. al-Isra’/17: 37). Lengkaplah manusia itu: tidak punya malu, tidak hidup hatinya, dan sombong.

Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda dalam hadits yang ditulis Imam al-Tirmidzi, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya” Para sahabat berkata; “Sungguh kami malu (kepada-Nya) wahai Rasulullah”.  Nabi SAW bersabda, “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebenarnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala. Menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut. Menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Ia hendaklah mengingat mati dan kehancuran …”.

Baca juga :

Kedua Cinta kepada Allah. Cinta, menurut Erich Fromm, adalah “tindakan yang aktif, bukan perasaan yang pasif.” Sifat cinta itu “memberi bukan menerima.” Ia lahir dari sebuah keputusan yang bersendikan akal bukan khayal. Namun cinta dalam konteks ini, menurut Syaikh Nawawi adalah “menyenangi apa yang ada di sisi Allah seperti suka terhadap pahala dan kerelaan dari-Nya. Dengan begitu, yang cinta kepada Allah tak lain adalah orang beriman. Allah tegaskan, ”…Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah …” (QS. al-Baqarah/2: 165).

Imam Bukhari menuliskan hadits Nabi SAW, “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu pertama, hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. Kedua, apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. Ketiga, ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api”.

Ketiga Rindu ingin Jumpa Allah. Menurut Syaikh Nawawi, orang semacam ini selalu ceria di hadapan Allah. Tentu, orang yang ramah kepada Allah, maka Allah juga ramah kepada orang tersebut. Inilah tanda-tanda orang yang mampu menyaksikan keindahan Allah sehingga apa saja yang dilihatnya indah, lembut, penuh kasih, cinta sehingga berpengaruh secara psikologis di dalam pikiran dan perbuatannya. Keceriaan, keramahan, dan kelembutannya bukan diprovokasi oleh adanya dunia dan asesorisnya, tapi karena ke-Maha-Hadir-an Allah dalam dirinya.

Terkait dengan hal ini, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits qudsi yang bersumber dari Abu Hurairah, “Hai anak manusia, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Lalu berkata (manusia): “Ya Rabb, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah menjawab, “Apakah engkau tidak mengetahui, sesungguhnya ada hamba-Ku, yakni si fulan sedang sakit tetapi kamu tidak menjenguknya, tidakkah kamu tahu sesungguhnya ketika kamu menjenguknya, Aku berada di sisinya”.

Allah kembali berfirman:

“Hai manusia, Aku kelaparan tetapi kamu tidak memberi-Ku makan”. Manusia menjawab, “Ya Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah menjawab, “Apakah engkau tidak mengetahui sesungguhnya hamba-Ku si fulan kelaparan namun kamu tidak memberinya makan, tidakkah kamu tahu sesungguhnya ketika kamu memberinya makan, Aku ada di sana”.

Kemudian Allah berfirman:

“Hai manusia, Aku haus namun kamu tidak memberi-Ku minum”. Manusia menjawab, “Ya Rabb, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah menjawab, “Kamu (tahu) hamba-Ku meminta minum kepadamu tetapi kamu tidak memberinya minum. Tidakkah kamu tahu ketika kamu memberinya minum, Aku ada di sana”.

Jadi kita belum bisa ramah kepada manusia karena kita belum ramah kepada Allah. Belum adanya sikap ramah kepada Allah karena kita belum bisa melihat Allah di sisi orang yang sakit, kelaparan, dan kehausan.

Demikian semoga bermanfaat. Mohon maaf jika saya ganteng hehehe

image_title
Pasang Iklan
Print Friendly and PDF
70716 23714 72924

Mau donasi lewat mana?

Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Blogger and WriterCreator Lampung yang masih harus banyak belajar.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK Mandiri 9000046481967
an.Kholil Khoirul Muluk