Niat sebagai Jiwa Ibadah
Sahabat SantriLampung yang dimuliakan Allah, dalam kesempatan ini kita akan melanjutkan Artikel SaklarJiwa tentang Niat sebagai Jiwa Ibadah bagian pertama.
Dalam Al Qur'an surat Hud ayat : 15-16 mengisyaratkan, bila kita berbuat baik tanpa diniatkan itu semata-mata karena patuh pada perintah-Nya, maka boleh jadi Allah akan membalas tunai perbuatan itu dengan sempurna di dunia ini, tanpa menyisakan sedikit pun untuk akhirat. Hal ini sungguh merupakan suatu kerugian bagi kita, karena bukankah di akhirat nanti kita harus memiliki bekal juga?
Rasulullah saw. pun pernah mengingatkan hal ini dengan sabdanya : "Jika engkau beramal untuk dunia maka engkau akan mendapatkan dunia, tetapi jika engkau beramal untuk akhirat maka engkau akan mendapatkan akhirat dan juga dunia."
Kita dikatakan beramal untuk akhirat bila melakukan suatu pekerjaan dengan penuh kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan itu adalah merupakan perintah-Nya. Dengan demikian, bekerja (cari nafkah/ma'isah) termasuk pekerjaan akhirat bila kita melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa Allah menyuruh kita untuk mencari nafkah. Tetapi bekerja termasuk pekerjaan dunia, bila kita melakukannya karena semata-mata untuk mencari nafkah belaka. Demikian juga halnya seorang suami yang memberikan uang belanja kepada keluarganya. la mendapat pahala, bila uang itu diberikan kepada istrinya semata-mata karena mematuhi perintah Allah.
"Apabila seorang Muslim mem berikan belanja kepada keluarganya se mata-mata karena mematuhi Alah, maka ia mendapat pahala." HR Bukhari.
Secara psikologis pun dapat dibuktikan, bila suatu tindakan tidak didasarkan / diniatkan lilahi ta'ala, maka sikap seperti ini akan memperkuat sifat 'keakuan' (ego). Bukankah egoisme itu tirai baja yang menghalangi manusia untuk melihat Tuhan
Menurut DR. Jalaluddin Rakhmat, seorang pujangga sufi yang bernama Sa'di dalam karyanya Gulistan mengisahkan:
Ada seorang raja yang ingin membunuh tawanannya. Mengetahui hal ini, kontan tawanan itu mengucapkan sumpah serapah dalam bahasa daerahnya yang tentu saja tidak dimengerti oleh sang raja. "Apa katanya?" tanya raja pada para menterinya. Salah seorang menterinya yang berhati emas berkata, "Baginda, dia mengatakan bahwa Tuhan telah berfirman: "Orang yang menahan amarahnya dan memaafkan manusia maka surga lah ganjarannya." Rupanya hati raja tersentuh mendengar ini, dan tidak jadi membunuh tawanan itu. Menteri yang lain, saingan menteri yang tadi, berkata, "Baginda, se1benarnya yang dikatakan tawanan itu bukanlah demikian. la telah mengucapkan caci maki yang sangat keji terhadap Ba ginda!" Mendengar perkataan ini raja gusar dan berkata padanya, "Ke bohongan yang dia ucapkan lebih bisa diterima ketimbang kebenaran yang kamu ucapkan. Karena dia mengucapkannya dengan maksud baik, sedangkan kamu mengucapkannya dengan niat buruk."
Menteri yang pertama pada kisah di atas, berbohong kepada rajanya karena ia teringat pada firman Allah, bahwa dirinya harus menolong orang yang sedang teraniaya. Apa yang dilakukannya itu tidak mempunyai pamrih pribadi, tetapi semata-mata karena taat menjalankan perintah Allah saja. Sedangkan menteri yang kedua, menyampaikan kebenaran kepada rajanya karena ia memang ingin "mencari muka".
BacaJuga : Niat Sebagai jiwa Ibadah bag.1
"Seringkali Amal yang kecil menjadi BESAR karena baik Niatnya, dan Seringkali pula Amal yang BESAR menjadi kecil karena SalaH Niatnya."

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan