Tingkat Kesucian Nafs
Sahabat SantriLampung yang ananda sayangi, pada artikel kali ini kita masih melanjutkan Struktur manusia tentang Nafs atau Jiwa, namun lebih kepada tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat kesuciannya, Nafs terbagi menjadi tiga macam diantaranya :
1. Nafs Ammarah bi Su’
Pertama, tingkat nafs yang terendah, disebut nafs ammarah bi-su’ (nafs yang memerintah dengan keburukan, atau mengajak pada keburukan—bukan “nafsu amarah”).
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan tidaklah aku menyatakan jiwaku bebas dari kesalahan. Sesungguhnya nafs itu selalu memerintah dengan keburukan (ammaratu bi su’) kecuali yang dirahmati Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang. – Q.S. Yusuf [12]: 53
Ini adalah nafs yang masih didominasi oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri, sehingga ia selalu diajak, diperintah atau dibawa ke arah keburukan oleh hawa nafsu dan syahwatnya—dan ia tidak mampu melepaskan dirinya. Ia masih terikat dengan (sifat-sifat) kejasadiahannya sendiri.
Proses pertama di jalan taubat adalah membebaskan nafs dari perbudakan ini: membebaskan nafs dari diperbudak oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri.
2. Nafs Lawwamah
Tingkat nafs yang sudah mulai menyadari bahwa ia dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya dan tidak kuasa membebaskan dirinya, disebut nafs lawwamah—berarti “nafs yang amat menyesali (diri)”.
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah (nafs yang menyesali diri). – Q.S. Al-Qiyamah [75]: 2
Nafs lawwamah adalah nafs yang kadang terbawa oleh sifat jasadinya, namun kadang menyesal dan rindu untuk lepas dari kungkungan sifat-sifat jasadinya. Ia merindukan “langit”, namun juga mencintai duniawi.
Nafs pada tingkat lawwamah ini adalah nafs yang mulai ingin bertaubat, ingin menjadi baik, dan ingin lepas dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya.
3. Nafs Muthma’innah
Nafs muthma’innah adalah jiwa yang sudah tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya, dan sudah tidak lagi terikat oleh sifat-sifat jasadinya. Ia tidak lagi terombang-ambing antara perbuatan dan penyesalan. Ia hanya tunduk dan mencintai penciptanya—sosok yang pertama kali dilihatnya sejak ada di alam semesta ini—yaitu Allah SWT. Karena itulah ia menjadi nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), jiwa yang berhasil kembali ke martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya di dalam dirinya sendiri maupun di seluruh penjuru ufuk, yang berhasil ia pelajari di alam mulk. Nafs tingkatan inilah yang harus kita kenali dalam perjalananan taubat, karena nafs muthma’innah sajalah yang bisa membuka ilmu-ilmu Allah yang disimpan Allah dalam dadanya.
Nafs muthma’innah inilah yang telah sepenuhnya tunduk pada Allah sehingga sepenuhnya ridha kepada Rabb-nya, dan Rabb-nya pun telah ridha kepadanya. Inilah kedudukan nafs para hamba Allah.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Wahai nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), kembalilah, pada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya. Masuklah menjadi hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku. – Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30.
Inilah tujuan penyucian jiwa: agar jiwa manusia bisa melepaskan diri dari perbudakan oleh hawa nafsu dan syahwatnya, sehingga menjadi jiwa yang tenang atau nafs muthma’innah.

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan