Assalamu'alaikum Sahabat beriman

Strategi Syuriyah PBNU Ingin Melengserkan KH Yahya Cholil Staquf

Sambil menunggu rapat darurat PBNU di Surabaya yang akan berlangsung, kita bahas dulu kenapa Syuriyah ngotot ingin melengserkan Gus Yahya. Sepertinya ada strategi khusus yang dimainkan KH Miftahul Ahyar cs. Simak narasinya sambil seruput Koptagul lagi, wak!

Di tubuh NU, politik sering bergerak seperti hukum fikih. Tidak selalu tampak kasar, tapi setiap langkahnya punya illat, manath, dan qiyas yang membuat para santri senior geleng kepala sambil berucap, “Lah, ini kok mirip bab thalak bain, ya?” Kasus terbaru mengenai Syuriyah yang memberikan tempo tiga hari kepada Ketua Tanfidziyah, KH Yahya Cholil Staquf, adalah contoh sempurna bagaimana NU mengoperasikan fikih dalam bentuk politik. Bukan dengan pedang, tapi dengan kaidah-kaidah super halus yang bisa menjatuhkan seorang tokoh tanpa terlihat seperti menjatuhkan.

Syuriyah seolah sedang menegakkan amar makruf nahi munkar administratif, tapi dengan cara yang membuat AD/ART tetap wangi. Mereka tidak memecat, tidak mengeluarkan SK, tidak menabuh genderang perang. Tidak, cak. Mereka hanya meletakkan satu kalimat yang bunyinya sederhana namun kadar fikihnya setajam qiyas jali, "Kami beri tiga hari untuk mundur.”

Dalam fikih, ini mirip konsep khulu’ yang disampaikan dengan kalimat lembut, "Sampeyan tak kami talak, tapi gus silakan melepaskan diri demi kemaslahatan.”

Secara moral terdengar santun, tapi secara fungsi sama saja, pintu keluar sudah dibukakan, tikar sudah digulung, sandal sudah disiapkan di luar, hanya tinggal melangkah. Inilah strategi Syuriyah, tidak memukul, tapi memberi ruang agar lawan jatuh sendiri.

Mengapa Syuriyah tak memecat langsung? Karena mereka tahu AD/ART itu seperti syarat sah wudhu, salah satu poin saja batal semua ibadah. Memecat tanpa forum resmi sama seperti meng-qadha’ salat tanpa sebab, sah di niat, gugur di hukum. Maka Syuriyah memilih jalan hiyal, strategi fikih yang halus tapi sah, bukan menjatuhkan, melainkan menyarankan agar lawan menjatuhkan dirinya sendiri.

Namun apa jadinya jika KH Yahya Cholil Staquf bergeming dalam tiga hari itu? Nah, di sinilah fikih berubah menjadi siyasah syar’iyyah tingkat tinggi. Ketika seorang pemimpin tak patuh pada nasihat Syuriyah, statusnya berubah seperti imam yang sujud terlalu lama dalam salat berjamaah, sah, tapi makmum mulai berdeham-deham dan memikirkan ganti imam. Tanpa memecat pun, Syuriyah sudah memindahkan beban moral ke pundak sang ketua. Warga NU, yang imannya kadang lebih cepat dari logikanya, langsung melakukan istinbat sendiri, “Kalau Syuriyah sudah tak percaya, berarti ada sebab syar’i.”

Dalam tiga hari itu, posisi Tanfidziyah menjadi seperti akad nikah tanpa wali, masih berjalan, tapi setiap orang menunggu kapan fasakh-nya ditegakkan. Jika sang ketua tetap bertahan, maka Syuriyah tinggal mengangkat tangan ke PBNU pusat sambil berkata, "Kami sudah melakukan nushrah, kini silakan ditegakkan hukm-nya.”

Laku, PBNU, sebagai qadhi qudhah dalam hirarki NU, biasanya akan turun tangan. Mereka bisa membekukan, menunjuk PLT, atau memerintahkan konferensi ulang. Semua cara itu sah secara fikih organisasi dan tetap menjaga wajah Syuriyah tetap bersih seperti mukena baru.

Pada akhirnya, strategi Syuriyah ini memang seperti qiyas, tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash AD/ART, tapi rukunnya nyambung, kaidahnya masuk, dan praktiknya sering digunakan dalam sejarah. Mereka tidak memecat, tidak menggugat, tidak menghunus pedang. Bahkan mereka tidak menaikkan volume suara. Mereka hanya menegakkan satu kaidah emas NU yang tak tertulis dalam kitab manapun, "Jika tak bisa menjatuhkan seseorang lewat aturan, biarkan ia jatuh lewat waktu dan tekanan moral.”

Begitulah NU, politiknya halus, tapi efeknya dahsyat. Syuriyah tetap seperti para mufti yang menjaga martabat, Tanfidziyah seperti qadhi yang harus patuh, dan PBNU seperti Mahkamah Agung yang turun bila keadaan darurat. Semua dilakukan dengan fikih, dengan adab, dengan senyum, dan tentu saja dengan drama yang membuat warga melongo. Karena di dalam tubuh NU, pertarungan tidak pernah memakai senjata.

Pertarungan di NU memakai kaidah ushul fikih, dan itu jauh lebih tajam dari pedang mana pun.


Baca Juga yang ini ya :
Pasang Iklan

Mau donasi lewat mana?

BSI a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (7310986188)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Alumni Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung - Blogger, Designer, Writer and Copy Creator.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK BSI 7310986188
an.Kholil Khoirul Muluk