Diksi dan Keunikan Bahasa Al Qur'an
Mukjizat terbesar di seluruh zaman adalah al-Quran. Mukjizat ini diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena pada zaman tersebut, rata-rata umatnya ahli syair dan bahasa. Kemudian terlalu mengagungkannya dan menyekutukan Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Maka Allah SWT menurunkan al-Quran untuk mematahkan argumen-argumen mereka yang sangat menyimpang dari kebenaran. Banyak unsur yang dikandung dalam al-Quran. Salah satunya yakni kedahsyatan nilai sastrawi. Di antara kedahsyatan sastra dalam al-Quran ialah berikut:
Pemilihan diksi Al-Quran
Diksi adalah pemilihan kata yang tepat agar sesuai dengan makna yang diharapkan. Diksi di dalam Al-Quran yakni pemilihan kata atau lafadznya sangat tepat dan sesuai dengan konteks. Ketepatan dan kesesuaian kata maupun redaksi atau teks dengan konteks ini menjadikan asbabun nuzul al-Quran sebagai aspek penting dalam hal pengambilan hukum yang berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Itulah salah satu bukti kesatuan al-Quran. Penggunaan huruf dan kata-kata yang dipilih Allah berdasarkan tujuan serta diletakkan pada posisi yang tepat.
Di dalam al-Quran tidak ada huruf yang tidak mempunyai tujuan, meski hanya satu huruf pun. Dalam diksi juga terdapat korelasi dengan makna. Salah satu contoh ketepatan diksi dalam al-Quran yaitu pada Surat Al-Kahfi ayat 25. Dalam ayat tersebut mengatakan keberadaan ashabul kahfi dalam gua selama 309 tahun dengan cara penyebutannya yakni 300 dan 9 tahun.
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).”
Persoalannya adalah mengapa al-Quran tidak menyebutkan secara langsung 309 tahun saja agar lebih ringkas? Justru diksi yang dipilih adalah kata 300 tahun ditambah 9 tahun? Rahasia dibalik diksi tersebut adalah menunjukkan bahwa 300 tahun Masehi (berdasar penghitungan dengan matahari) = 309 tahun Hijriyah (berdasarkan penanggalan dengan bulan). Sehingga pemilihan diksi 300 ditambah 9 tahun menjadi lebih tepat daripada ditulis langsung 309 tahun saja. Karena penyebutan 300 ditambah 9 tahun telah mewakili antara tahun Masehi dan tahun Hijriyah. Sedangkan jika disebutkan dengan diksi 309 tahun saja, orang akan bingung apakah itu berdasar tahun Masehi atau Hijriyah.
Stilistika Al-Quran (Uslub Al-Quran)
Secara terminologi pengertian stilistika adalah kajian tentang gaya bahasa lisan atau tulisan tentang bagaimana menggunakannya untuk menimbulkan pengaruh tertentu. Stilistika al-Quran bukanlah kosakata dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang digunakan al-Quran dalam memilih kosa kata dan gaya kalimatnya. Oleh karena itu, stilistika al-Quran berbeda dengan hadist, syair, kalam, dan buku-buku lainnya. Inilah yang menunjukkan salah satu keistimewaan sastra Al-Quran.
Menurut Syihabuddin Qalyubi, objek kajian stilistika ada empat yaitu :
Pertama, fonologi dalam kajian stilistika al-Quran. Fonologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai bunyi bahasa, termasuk bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Sebagai contoh keserasian antara huruf vokal dengan konsonannya, tajwid dan tahsinnya yakni dalam surah al-‘Adiyat yang sungguh sangat menakjubkan.
Tiga ayat pertama memiliki nada yang sama dan berdekatan. Ayat keempat sama dengan ayat kelima, selanjutnya berturut-turut ayat keenam, ketujuh dan kedelapan bernada yang sama dan berhampiran. Demikian dengan ayat-ayat seterusnya. Perpindahan dari satu bunyi ke bunyi yang lainnya sangat bervariasi dan berkesan sehingga menimbulkan bacaan dengan irama yang merdu dan indah.
Hubungan antara konsonan dan vokal, diiringi oleh mad, lalu konsonan dan vokal lagi, diselingi oleh sukun dan ghunnah dan seterusnya. Pernyataan ini hanyalah bisa dimiliki oleh bacaan dengan nilai sastrawi yang sangat tinggi. Selain keserasian dalam huruf, surah ini juga serasi dalam akhiran bacaan hurufnya.
Keunikan Lafal Al-Quran
Kedua, peferensi lafal dalam kajian stilistika al-Quran. Keunikan lafal-lafal dalam al-Quran yakni meliputi penggunaan lafal yang berdekatan maknanya, penggunaan homonim (kata yang sama bunyinya tetapi berlainan arti dan asalnya), serta penggunaan lafadz yang tepat sasaran dan tepat makna.
Sebagai contoh dalam surah al-Adiyat di atas. Jika kita teliti lebih dalam, terdapat pemilihan lafadz yang amat tepat. Misalnya pada tiga ayat pertama yang mana Allah menyebutkan kata sifat (isim fa’il) dengan bentuk jama’ muannats salim di-ma’rifahkan dengan al-maushulah yang dimaksudkan kepada kuda perang.
Seperti dijelaskan dalam tafsir ath-Thabari, makna dasarnya adalah berlari kencang, memercikan bunga api, dan menyerang dengan tiba-tiba. Kemudian kata “al” dapat diartikan dengan segala jenis binatang yang biasa berlari kencang.
Ketika di depannya terdapat lafadz dhabhan yang berarti terengah-engah, maka kemungkinan “al” di situ hanya ada dua, yakni anjing dan kuda. Ketika dilanjutkan lagi, tersingkaplah makna yang dimaksudkannya. Sebab memercikan bunga api dengan hentakan kaki, yang menyerang dengan tiba-tiba, yang menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah tengah musuh tidak dapat dilakukan oleh hewan anjing. Maka jelaslah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kuda-kuda perang.
Ketiga, peferensi kalimat dalam kajian stilistika Al-Quran. Maksud kedahsyatan kalimat di sini yakni ragam kalimat yang dipilih al-Quran sebagai media penyampai pesan-pesan yang juga memiliki pengaruh terhadap makna-maknanya. Sebagai contoh adalah penggunaan kalimat tanpa penyebutan fa’il-nya dan penggunaan kalimat yang beragam serta penggunaan pengulangan kalimat sebelumnya.
Misalnya dalam surah al-Adiyat tadi, terdapat dua kalimat yang tidak disebutkan fa’il-nya, yaitu bu’tsira dan hushshila. Masing-masing pada ayat kesembilan dan kesepuluh. Aisyah binti asy-Syathi’ menerangan tidak disebutkan fa’il khususnya pada ayat-ayat tentang hari kiamat dan kebangkitan dari kubur adalah suatu cara untuk mengkonsentrasikan perhatian pembaca kepada peristiwa yang terjadi.
Deviasi dalam Al-Quran
Keempat, deviasi dalam kajian stilistika al-Quran. Dalam ilmu balaghah hal ini dinamakan dengan iltifat. Iltifat yaitu perpindahan bentuk atau dhamir dari bentuk satu ke bentuk yang lain. Dalam al-Quran secara keseluruhan dapat dijumpai deviasi yang sangat banyak. Misalnya dari bentuk jama’ menjadi mufrod, dari bentuk mukhattab menjadi ghaib, dan lain sebagainya.
Misalnya dalam contoh surat al-Adiyat, pada ayat kesebelas. Pada ayat tersebut dhamir yang kembali pada al-insan yang terdapat pada ayat keenam disebutkan dalam bentuk jama’ (Rabbahum dan bihim). Padahal pada ayat-ayat sebelumnya dhamir yang kembali pada lafadz al-insan disebutkan dalam bentuk mufrad/tunggal (lirabbihi pada ayat ke-enam, innahu pada ayat ketujuh dan kedelapan, ya’lamu pada ayat kesembilan).

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan