Ruang lingkup Ushul Fiqh
Ushul fiqh telah memberikan cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan. Jadi pada prinsipnya harus diketahui dulu hakekat dari dalil-dalil yang mengandung hukum tersebut.
Adapun yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah :
- Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah.
- Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
- Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
- Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Jadi yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari sagi dapat diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat kully dari segi dapat ditarik daripadanya hukum yang bersifat kully (umum) pula, sedangkan yang menjadi pokok pembahasannya adalah :
- Hukum, yang didalamnya meliputi wajib, sunnat, makruh, mubah, haram, hasan, qabih, ’ada, qada, shahih, fasid, dan lain-lain.
- Adillah ,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas.
- Jalan-jalan serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath).
- Mustambith,yaitu mujthid dengan syarat-syaratnya.
- Dalil-dalil untuk menginstimbathkan hukum.
Didalam kehidupan manusia selalu terjadi perubahan sosial sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru didalam masyarakat. Untuk memecahkan persoalan yang beru belum ada nash yang jelas diperlukan istimbath hukum. Istimbath artinya mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad yang didasarkan kepada dalil yang ada dalam al-qura’an dan sunnah.
Bila timbul suatu permasalahan yang timbul di dapati hukumnya dalam al-quran dan hadis maka harus melakukan istimbath dengan berijtihad menggunakan ra’yu untuk mendapatkan suatu hukum,dengan berpedoman kepada maksud syara’ dan kaidah-kaidah umum untuk menetapkan hukum yang ada dalam qur’an dan hadist.
Ulama ushul dalam melakukan istimbath hukum itu didasarkan kepada dalil ra’yu dengan alasan : firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam firman di atas terlihat adanya ancaman bagi orang yang mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan suatu hukum, sebab ada perintah untuk mengembalikan masalah kepada apa yang telah disyari’atkan Allah dan Rasulnya, dengan menggunakan penelitian seksama terhadap masalah apa yang nashnya tersembunyi atau tidak tegas melalui kaidah-kaidah umum dengan menyesuaikan pada maknah syara’.
Dalil lain untuk menginstimbathkan hukum, tersebut dalam hadist rasul yang diriwayatkan oleh Said bin Musyayyab dari Sayyidina Ali RA. yang artinya:
“Saya berkata kepada nabi saw: "bagaimana tentang masalah yang selalu datang yang perlu mendapatkan ketentuan hukumnya, tapi ayat-ayat al-quran tidak turun, dan tidak ada juga ketetapan dirimu?" maka sabda nabi saw : "kumpulkanlah orang-orang yang pandai atau ahli ibadah dikalanagan kaum mukmin maka adakan musyawarah dan jangan menetapkan keputusan dengan hanya berdasarkan satu pendapat".
Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan