Bagaimana pendapat Ulama tentang Syar'u Man Qoblana
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat –syariat terdahulu. Demikian pula para ulaama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi uat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syri’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.[2]
Para ulama Fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syari’at nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam tidak pula penjelasan yang membatalkannya. [3]
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah:[4]
1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123)[5]
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.
Sebagian ulama mengatakan bahwa syariat kita me-nashkan atau menghapus syari’atkita untuk me-nashkan atau menghapus syariat terdahulu, kecuali apabila dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya me-nashkan syari’at terlebih dahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.[6]
Dan ada pula ulama yang mengatakan bahwa syariat orang terdahulu tidak dapat di jadikan syariat kita. Mereka beralasan bahwa syariat kita telah menghapus syariat-syariat umat terdahulu kecuali dalam syariat kita ada yang menetapkannya.[7]
Lebih lanjut Abdul Wahab Khallaf, menilai bahwa yang terkuat dari kedua pendapat di atasa adalah pendapat dari Juhur ulama h dan ulama Hanafiah serta sebagian syafi’iyah yang menyatakan syar’u man qablan ini di nyatakan sebagai syariat kita. Alasannya syariat kita hanya membatalkan syariat orang terdahulu yang di anggap menyalahi syariat islam saja. Oleh karena itu syar’u man qablanayang di sebut oleh Al-Qur’an tanpa ada penegasan bahwa hukum itu telah di nashkan maka syar’u man qablana itu kedudukannya berlaku bagi umat nabi Muhammad. Karena syar’u man qablana yang di berlakukan hukumnya untuk kita itu pada hakikatnya adalah hukum Illahi di sampaikan oleh Rasul kepada kita selama tidak ada dalil yang membatalkannya. Al-Qur’an hadir membenarkan hukum yang terdapat dalam taurat dan injil. Maka selama tidak ada yang membatalkan maka hukum yang terdapat pada kedua kitab terdahulu itu berlaku juga untuk kita.[8]
Refrensi
[1] Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009,hlm.144
[2] Ibid,
[3] Ibid.
[4] Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152
[5] Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165-166.
[6] Prof.Dr.Juhaya.s.Praja.ilmu Ushul Fiqih,Stain Jurai Siwo Metro Lampung,hal145
[7] Musnadrozin. Ushul Fiqih1,STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, hal.94
[8] Ibid, hal161

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan