Esensi Agama
Berbeda dengan asumsi umum bahwa pertimbangan paling dasar dalam agama adalah dalil-dalil hukum syariat, semakin lama kita akan menyadari bahwa ada pertimbangan yang lebih mendasar daripada sekedar hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, titik tolak perilaku yang dianggap “baik” dalam agama bukan saja yang sesuai dengan hukum fikih dan syariat saja, namun bahkan ada yang lebih mendasar dari itu.
Sebagai contoh: aurat pria. Batasan aurat bagi pria adalah semua bagian tubuh antara pusar hingga lutut. Itu wajib ditutup terhadap semua orang yang bukan mahramnya.
Lalu, syarat sah shalat adalah menutup aurat. Secara fikih, jika shalat hanya mengenakan celana dari pusar sampai lutut dan tak mengenakan baju atasan, maka shalat tersebut sah. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat hal ini.
Kemudian, dia pergi ke masjid, lalu menjadi imam shalat di sana—dengan pakaian yang sama: celana selutut dan tanpa baju atasan. Sahkah shalat berjamaah tersebut? Sah, jika hanya fikih, atau syariat lahiriah, yang jadi pertimbangannya.
Tapi maukah Anda menjadi ma’mumnya? Anda akan marah, menganggapnya lancang, dan merasa terhina dengan cara imam berpakaian ketika menjadi imam shalat.
Sah, secara fikih. Tapi bagaimana mungkin seseorang menghadap Allah Ta'ala atau menjadi imam dengan pakaian seperti itu? Apakah Allah Ta’ala berkenan? Apakah ia telah menghargai Allah Ta’ala maupun seluruh jamaah dengan sikap seperti itu, atau ia hanya mempermainkan hukum saja?
Atau, seorang anak lelaki sah secara hukum syariat, jika dia menikah tanpa memberi tahu orangtuanya sama sekali. Namun, apakah ia telah menghargai ayah ibunya—yang telah bersusah payah membesarkannya— dengan bersikap seperti itu?
Agama harus dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik itu aspek lahir maupun aspek batin, baik itu syariat dan hukum fikih maupun adab, rasa, niat, ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku di mata Allah Ta’ala. Agama tidak akan utuh sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam-alam, jika diidentikkan atau hanya memfokuskan salah satu aspeknya saja.
Thariqah
Agama harus dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik itu aspek lahir maupun aspek batin, baik itu syariat dan hukum fikih maupun adab, rasa, niat, ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku di mata Allah Ta’ala.
Ad-Diin sesungguhnya bukan hanya ritual, mazhab, sederetan dalil, atau hukum syariat saja. Ad-Diin sesungguhnya jauh, jauh lebih besar dan jauh lebih dalam dari itu.
Agama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak dan jangan sampai timbul dalam dirimu kejenuhan beribadah kepada Rabb-mu. – H.R. Al-Baihaqi
Perumpamaanku dengan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang belum terselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan terkagum-kagum sambil berkata: 'Duh, seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini'. Beliau bersabda, 'Maka, aku lah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi.' – H.R. Bukhari, Muslim

73004
24830
75213
Mau donasi lewat mana?
Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Gabung dalam percakapan