Kontemplasi Kehidupan Dunia
Sahabat SantriLampung yang beriman, sejenak kami ingin mengajak merenung dan berfikir, atau dalam bahasa agama disebut tafakur, bahasa lainnya adalah kontemplasi.
Kontemplasi itu tentu saja bukan melamun, karena malamun itu pikiran melayang kemana-mana, tidak beraturan, tidak ada kontruksinya, sedangkan tafakur atau kontemplasi tidak begitu ia memiliki kontruksi.
Thahir ibnu ‘Asyur [1] mengatakan arti tafakur adalah:
جَوَلَانُ الْعَقْلِ فِي طَرِيقِ اسْتِفَادَةِ علم صَحِيح
Pengembaraan akal pikiran pada jalan untuk menggapai faedah pengetahuan yang benar. [At-Tahrir wat-Tanwir : Jilid 7 Hlm. 243]
Kenapa harus berfikir dan merenung? jawabannya karena Allah menyuruh untuk itu. Banyak sekali ayat dalam Al-Quran yang menunjukan perintah secara langsung atau tidak langsung agar manusia melakukan kontemplasi terhadap banyak hal dalam perjalanan hidup ini. Di antaranya:
أَوَلَمۡ يَتَفَكَّرُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۗ
Apakah mereka tidak berpikir tentang (kejadian) dirinya? [QS. Ar-Rum ayat 8]
لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ ٢١٩ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۗ
agar kamu berpikir tentang dunia dan akhirat. [QS. Al-Baqarah ayat 219-220]
Ada juga hadis tentang "tafakur itu lebih baik dari pada ibadah setahun atau 60 tahun".
فِكْرَةُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً
Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun.
Ulama ahli hadis mengungkapkan bahwa penggalan kalimat tersebut bukan hadis, atau kalau pun hadis maka derajatnya adalah hadis palsu (artinya bukan ucapan nabi), akan tetapi, kemuliaan bertafakur ini dikuatkan oleh ayat Al-Qur’an, sebagai berikut:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (Ali 'Imran [3]:190)
Ditambah ungkapan para ulama yang mengungkapkan betapa besar keutamaan kegitan berfikir ini.
Kali ini aku ingin merenungi tentang "kehidupan manusia di dunia".
Begini, semua orang pasti akan mati[2]. "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati" (Al-Anbiya [21]:35). So, Hidup di dunia ini ada matinya bukan nggak ada matinya. Maka kehidupan itu disebut kehidupan sementara atau kehidupan semu atau kehidupan yang relatif (nisbi). Seperti emas yang bercampur logam lain maka dia bukan lagi emas murni. Atau warna hitam yang ada putihnya maka tidak lagi disebut hitam tapi hitam bintik putih, jika diaduk malah menjadi kelabu.
Itulah kenapa, karena hidup ini semu maka yang lain pun ikut mejadi semu. Sengsara, bahagia, sedih, gembira semuanya semu.
Bahagia dan derita datang silih berganti, sedih dan gembira, tangis dan tawa adalah teman dalam setiap langkah kehidupan. Bahagianya tidak murni begitupun deritanya tidak sejati, karena dalam bahagia ada derita dan dalam tangis ada tawa.
Tidak ada orang yang bahagia selamanya, dan juga tidak ada manusia yang menderita terus tanpa akhir. Semuanya semu, semuanya relatif.
Hidup itu seperti mimpi, hal tersebut seperti yang dikutip Imam al-Ghazali dari ucapan Sayidina Ali r.a.,
اَلنَّاسُ نِيَامٌ فَإِذَا مَاتُوْا اِنْتَبَهُوْا [٣]
Pada hakikatnya manusia itu sedang tertidur, ketika mati, barulah ia terbangun.
Saya merenungi ucapan Sayidina Ali tersebut. Memang benar, dalam mimpi seseorang dapat merasakan sesuatu benar-benar terjadi bukan mimpi. Kadang ada orang bermimpi indah sehingga wajahnya ikut kelihatan gembira dan tertawa, ada yang mimpi buruk sampai dia berteriak karena ketakutan.
Ada yang bermimpi punya rumah bagus lengkap dengan semua kemewahannya, mobil, taman, pembantu. Ada yang bemimpi dikejar hantu, sehingga nafasnya tersengal-sengal, dadanya kembang kempis karena harus berlari sekuat tenaga dalam mimpinya. Tapi, saat bangun semuanya hilang dan baru sadar bahwa semua itu mimpi.
Kita ini di dunia, dengan berbagai peran yang kita lakoni dengan kondisi dan situasi yang beragam, merasakan hal yang sama seperti mimpi. Ada yang berperan sebagai orang kaya dengan segala kesenangannya yang semu, ada juga yang berperan sebagai orang miskin dengan segala penderitaannya yang nisbi. Dan kita merasakan bahwa hal itu memang benar adanya, sampai saatnya ruh ini berpisah dengan raga baru sadar bahwa semua itu hanya kehidupan dunia.
Bacajuga : Hakikat Dunia
Dunia ladang akhirat
Kendati demikian, kita tidak boleh juga menganggap remeh dunia ini. Karena dunia adalah ladang kita untuk kehidupan akhirat. Bahagia dan sengsara kelak di akhirat adalah buah dari kehidupan kita di dunia. Maka manfaatkan kesempatan hidup di dunia untuk berbuat sesuai keinginan Sang Pencipta Allah Swt..
Terakhir, kami ingin menyampaikan hadis Nabi Saw. riwayat Imam Ahmad,
مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ جَمَعَ اللَّهُ شَمْلَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
Barangsiapa berorientasi dengan akhirat maka Allah akan jadikan kesempurnaan untuknya, kekayaan ada dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa mengharap kehidupan dunia, maka Allah akan menjauhkan dunia darinya, menjadikan kefakiran berada di depan matanya dan ia tidak akan mendapatkan dunia kecuali apa yang telah dituliskan untuknya.

Mau donasi lewat mana?
REK (90000-4648-1967)
Gabung dalam percakapan