Taubat, Fitrah diri dan Misi Hidup



Fithrah (f – th – r), adalah istilah bahasa Arab yang bermakna “pembawaan dasar”, “natur primordial” atau “keadaan sebagaimana mulanya”. Dalam Al-Qur’an, kata “fithrah” terkait dengan makna “natur (insan) sesuai dengan kadar-kadar penciptaannya”.


Inilah fithrah: bahwa masing-masing kita diciptakan dengan memiliki kadar-kadar tertentu. Setiap kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kadar kombinasi keunggulan di sisi tertentu, dan lemah di sisi-sisi lainnya. Ini adalah demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.


Dari Imran r.a., saya bertanya, "Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?" Rasulullah SAW menjawab, "Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu." – H.R. Bukhari no. 2026


Misi hidup seorang manusia, secara spesifik, merupakan manifestasi dari fithrah dirinya. Fithrah diri ini telah tertanam di dalam jiwa (nafs) insan sejak awal penciptaannya. Dan sesungguhnya fithrah diri setiap insan inilah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sedikit pun, sebagaimana tertulis dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin, fitrah Allah, yang Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.”


Sementara manusia, karena kehendak hawa nafsunya, cenderung ingin menjadikan dirinya sekehendak hatinya. Manusia selalu melihat dirinya kurang dan ingin menjadi sosok yang lebih sempurna. Namun, kesempurnaan yang ia cari adalah kesempurnaan yang berdasarkan keinginan hawa nafsunya, bukan kesempurnaan berdasarkan petunjuk dan tuntunan Allah yang sesuai dengan fithrah dirinya—yang sesungguhnya merupakan kesempurnaan yang telah Allah fithrah-kan untuknya.


Manusia selalu melihat kepada orang lain dan ingin menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri—atau setidaknya mempertanyakan: bagaimana seharusnya saya dari sudut pandang Allah Ta’ala. Ini karena insan gagal mengenali pengetahuan agung yang Allah letakkan dalam dada batinnya: siapa dirinya sebenarnya.


Insan, karena mengikuti hawa nafsunya, akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya. Itulah sebabnya insan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.


Seekor burung diciptakan untuk terbang, maka ia tidak akan pernah berbahagia jika ia ingin menjadi ikan. Fithrah dirinya adalah terbang, bukan hidup di dalam air. Sebaliknya pada seekor ikan, fithrah dirinya adalah untuk hidup di air. Kebahagiaannya Allah letakkan di dalam air. Jika ia ingin hidup di darat, maka itu akan menjadi penderitaan baginya, karena ia melanggar fithrah-nya.


أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ


Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, kepada-Nya ber-tasbih apa-apa yang ada di seluruh petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh, setiap sesuatu memahami cara shalat dan tasbih-nya. Dan Allah mengetahui tentang apa-apa yang mereka laksanakan. – Q.S. An-Nuur [24]: 41


Dikatakan bahwa burung ber-tasbih dan shalat dengan hidup sesuai fithrah-nya, yaitu dengan terbang mengembangkan sayapnya. Demikian pula segala sesuatu di seluruh penjuru langit dan bumi, ber-tasbih dan shalat dengan cara hidup masing-masing dan telah berfungsi sesuai fithrah masing-masing—kecuali manusia dan jin, tentu saja, yang tidak dengan sendirinya hidup sesuai fithrah sejak awal, karena mereka dianugerahi akal dan kebebasan memilih.


تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْ‌ضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورً‌ا


Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan keterpujian-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. – Q.S. Al-Israa’ [17]: 44

Baca juga :


Bagi manusia, ia baru ada dalam tingkat penghambaan yang tertinggi kepada Allah, ada di atas Shirath al-Mustaqim dengan tertuntun, dan ada dalam tingkat ke-taqwa-an tertingginya, hanya jika ia telah hidup dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan fithrah dirinya.


Berbeda dengan burung dan ikan, insan dalam melakukan shalat dan tasbih memiliki dua bentuk: melakukannya secara lahir dan secara batin. Ketika seorang insan telah sepenuhnya berfungsi sesuai fithrah dirinya sesuai untuk apa ia diciptakan, maka sejak itu—secara batin—setiap langkah dan napasnya telah menjadi sebentuk shalat dan bentuk tasbih-nya pada Allah secara terus-menerus, tanpa henti, sebagaimana burung tadi yang shalat dan ber-tasbih dengan mengembangkan sayapnya. Di sisi lain, secara lahiriah ia tetap wajib melaksanakan shalat dan tasbih di waktu-waktu tertentu sebagaimana tuntunan syariat, dengan tidak meninggalkan shalat hingga napasnya yang penghabisan.


Kepada manusia, Allah memberi akal dan kemampuan untuk memilih tindakan, sebagai instrumen untuk menjalankan fungsi ke-khalifah-an di bumi. Namun, justru dengan bekal inilah sebagian besar manusia selalu memilih untuk menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan fithrah dirinya.


Selama manusia belum mengenal kembali fithrah dirinya dan hidup sesuai dengan fithrah itu, yaitu mengenali dirinya untuk apa ia diciptakan dan menjalankan amanah ilahiah pribadinya—misi hidupnya—itu, maka ia tidak akan pernah meraih kebahagiaan hakiki. Contoh sangat sederhana, seorang yang tidak dimudahkan dalam melakukan hal-hal administratif, jika ia memilih bekerja di bidang administrasi karena hanya ingin meraih tawaran gaji besar, maka itu akan menjadi penderitaan baginya. Jenis pekerjaan itu tidak akan pernah sesuai dengan fithrah dirinya.


Kebahagiaan tertinggi insan Allah letakkan pada fithrah dirinya masing-masing, yaitu dengan berfungsi sesuai dengan untuk peran apa Allah menciptakannya. Sesungguhnya Allah telah meletakkan kebahagiaan tertinggi setiap manusia di dalam dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud oleh para ahli hikmah yang kerap mengatakan bahwa “Allah meletakkan harta karun setiap manusia di dalam dirinya sendiri.”


Term “mengenal diri” sesungguhnya sama dengan mengenal fithrah diri, dan memahami kembali untuk apa ia diciptakan. Pengetahuan tentang fithrah diri ini tersimpan di dalam jiwa kita masing-masing. Inilah maksudnya bahwa manusia baru akan berbahagia hanya ketika ia telah mengenal diri sejatinya, atau mengenal jiwanya.


Fithrah diri insan ini bisa dikenali kembali—yaitu, manusia bisa mengenal lagi siapa dirinya sesungguhnya—melalui sebuah per-taubat-an kepada Allah, dengan kembali kepada Allah (“taubat” berasal dari kata “taaba” yang artinya kembali), dengan ber-takwa kepada Allah, dengan menegakkan shalat, dan dengan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun. Ia hanya tunduk taat kepada Allah, tidak kepada apa pun selain Allah—termasuk pada hawa nafsunya dan kehendaknya sendiri.


Sayangnya, sangat sedikit insan yang memahami hubungan yang saling terkait antara kekuatan dan kelemahan diri, fithrah diri, Ad-Diin, shirath al-Mustaqim, taubat, misi hidup, shalat, tidak mempersekutukan Allah (tidak tunduk pada hawa nafsu dan syahwat), ketakwaan dan kebahagiaan hakiki. Semua keterkaitan hal ini tergambar dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 berikut ini.


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَ‌تَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ‌ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ‌ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ   مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِ‌كِينَ


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (Itu adalah) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” – Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31


Demikianlah, bahwa sesungguhnya berfungsi dan hidup sesuai dengan fithrah diri adalah menjalankan misi hidup masing-masing, sebagaimana sabda Rasulullah tadi: (menemukan dan) melaksanakan apa yang dimudahkan baginya, sesuai dengan untuk apa ia diciptakan.


Diungkapkan pada ayat tersebut, bahwa langkah awal untuk mengenali fithrah diri ini hanya bisa ditempuh dengan memasuki pintu gerbang pertaubatan, dengan kembali kepada Allah. Jika seorang insan Allah kembalikan pada fithrah dirinya melalui proses pertaubatan, maka ia akan mengenali qudrat diri (qudrah) yang pernah Allah kuasakan kepadanya. Ia pun akan mengenali tujuan spesifik dari penciptaan dirinya. Ia, setelah berhasil membuka kuasa Allah dalam dirinya, dikatakan sebagai orang yang telah mengenal dirinya—ia mengenal siapa dirinya sesungguhnya.


Dikatakan dalam ayat Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 tersebut, bahwa sekukuh-kukuhnya ad-Diin (diinul qayyim) dalam diri insan itu akan dapat terbangun ketika insan telah mengenali fithrah dirinya. Ia akan mulai beragama sesuai dengan jati dirinya, dan hidup dan menapak pada jalan lurusnya sendiri, shirat Al-Mustaqim-nya, sebuah jalan hidup spesifik yang telah Allah ciptakan untuk dirinya sebagai jalan pengabdiannya kepada Allah yang khusus untuk dirinya. Setiap insan sesungguhnya memiliki shirath al-Mustaqim-nya sendiri-sendiri, sebagaimana kerap dikatakan oleh para ahli hikmah, bahwa “jalan menuju Allah ada sebanyak jumlah nafs (jiwa) manusia.”



image_title
Pasang Iklan
Print Friendly and PDF

Mau donasi lewat mana?

Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Blogger and WriterCreator Lampung yang masih harus banyak belajar.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK Mandiri 9000046481967
an.Kholil Khoirul Muluk