Fardhu-fardhu Allah

Ar-Rabi' bin Sulaiman telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Imam Syafi'i berpendapat bahwa fardhu Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya dapat ditinjau dari dua segi.

Pertama, fardhu yang telah dijelaskan secara mendetail sehingga seseorang merasa cukup dengan Al Kitab tanpa butuh kepada takwil maupun hadits.

Kedua, fardhu yang ditetapkan Allah dalam Kitab-Nya, lalu pelaksanaannya dijelaskan melalui lisan Nabi-Nya. Kemudian Allah mengukuhkan fardhu yang ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui firman-Nya, "Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kamu, maka tinggalkanlah. " (Qs. Al Hasyr (59): 7)

Imam Syafi'i berkata: Perkara-perkara fardhu terhimpun dalam satu hal, yakni eksis sebagaimana yang ditetapkan. Kemudian cara-cara pelaksanaannya berbeda-beda, sebagaimana perbedaan yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Kita membedakan apa yang dibedakan dan menghimpun apa yang dihimpun Allah dan Rasul-Nya di antara fardhu-fardhu itu. Cabang suatu syariat tidak boleh diqiyaskan kepada syariat lainnya.

Syariat yang pertama kita mulai adalah shalat. Kita dapati syariat ini ditetapkan atas orang-orang baligh serta berakal sehat, dan tidak dituntut dari wanita-wanita haid pada hari-hari haidnya. Kemudian kita dapati perkara fardhu dan sunah dari syariat shalat ini terhimpun oleh satu ketentuan, yaitu tidak dapat dilaksanakan kecuali seseorang telah bersuci dengan menggunakan air, baik saat mukim maupun safar selama air itu tersedia. Boleh pula bertayammum ketika safar saat air tidak tersedia atau saat mukim ketika seseorang sakit sehingga tidak mampu menggunakan air karena khawatir sakitnya akan bertambah parah.

Baca juga :

Begitu pula kita dapati keduanya terhimpun oleh perkara lain, yaitu tidak boleh dilaksanakan kecuali menghadap ke arah Ka'bah selama seorang dalam keadaan mukim, dan hendaknya dilaksanakan langsung berdiri di tanah atau lantai.

Akan tetapi, saat safar kita dapati kedua hal ini mengalami perbedaan. Seseorang yang mengerjakan shalat sunah boleh menghadap ke arah mana saja kendaraannya menghadap lalu memberi isyarat. Sementara orang yang melakukan shalat fardhu tidak diperkenankan berbuat demikian, bahkan sampai-sampai ketika mengerjakannya dalam keadaan takut (shalat Khauf).

Demikian pula kita dapati seseorang yang mengerjakan shalat wajib tidak diperkenankan kecuali harus berdiri selama ia mampu. Sedangkan orang yang mengerjakan shalat sunah boleh melakukannya sambil duduk. Kita dapati pula orang yang mengerjakan shalat fardhu harus melakukannya pada waktunya sambil berdiri. Bila tidak mampu, maka sambil duduk. Bila tidak mampu, maka sambil berbaring dan sujud seperti biasa, atau sekedar memberi isyarat jika tidak mampu lagi untuk sujud.

Di sisi lain, kita dapati zakat memiliki kesamaan dengan shalat dan juga memiliki perbedaan. Kita tidak mendapati syariat zakat melainkan diwajibkan atas sebagian dan tidak diwajibkan atas sebagian yang lain. Apabila syariat ini telah wajib atas seseorang, maka tidak ada cara lain kecuali harus menunaikannya dalam segala keadaan tanpa ada perbedaan, tidak seperti perbedaan dalam menunaikan shalat yang boleh berdiri atau duduk. Kita dapati apabila seseorang memiliki harta yang wajib dizakati, namun pada saat yang sama ia memiliki utang, maka kewajiban zakat dihapus darinya dan tidak ada tuntutan apapun atasnya dalam kondisi seperti itu. Sedangkan shalat tidak pernah dihapuskan dalam keadaan bagaimanapun, akan tetapi dituntut untuk dilaksanakan menurut kemampuan.

Ar-Rabi' berkata: Dalam masalah ini Imam Syafi'i memiliki pandangan yang lain, yaitu; apabila orang itu memiliki utang sebanyak 20 Dinar dan ia memiliki harta yang sama seperti itu, maka wajib baginya mengeluarkan zakat, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan mereka. " (Qs. At-Taubah (9): 103) Oleh karena 20 Dinar ini dianggap sahjika dihibahkan atau disedekahkan, maka hal ini menunjukkan bahwa 20 Dinar tersebut termasuk hartanya yang wajib dizakati. Ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. " (Qs. At-Taubah (9): 103).

Imam Syafi'i berkata: Kita dapati wanita yang memiliki harta tidak dituntut mengerjakan shalat saat mengalami haid, namun tetap dituntut menunaikan zakat. Demikian pula halnya anak kecil dan orang yang tidak sehat akalnya.

Pasang Iklan
Print Friendly and PDF
74057 25468 76266

Mau donasi lewat mana?

Mandiri a.n. Kholil Khoirul Muluk
REK (90000-4648-1967)
Bantu SantriLampung berkembang. Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Blogger and WriterCreator Lampung yang masih harus banyak belajar.

Suratku untuk Tuhan - Wahai Dzat yang kasih sayangnya tiada tanding, rahmatilah tamu-tamuku disini. Sebab ia telah memuliakan risalah agama-Mu. Selengkapnya

Donasi

BANK Mandiri 9000046481967
an.Kholil Khoirul Muluk